Padepokan Seni Bagong Kussudiardja memusatkan perhatian pada pertumbuhan dan pengembangan nilai seni, baik yang berbentuk keindahan hidup bersama maupun karya. PSBK memakai metode belajar aktif-partisipatif yang menjembatani proses kerjasama seniman dan masyarakat untuk bersama-sama memanfaatkan kesenian untuk mencapai kehidupan yang bermartabat dan beradab. PSBK bekerja dengan banyak seniman dan organisasi, dan mengembangkan berbagai jenis kegiatan atau sarana untuk menjangkau masyarakat yang mungkin tidak memiliki atau sedikit akses pada seni. Kegiatan tersebut meliputi lokakarya dan diskusi publik di PSBK.
PSBK menjalankan investasi berharga pelaku-pelaku dalam kesenian yang ingin meningkatkan kapasitas di bidangnya masing-masing, baik yang penciptaan artistik, pengelolaan seni, maupun kepenulisan tentang seni. PSBK menawarkan kesempatan belajar bagi individu seni dan komunitas melalui lokakarya. Pembelajaran ini dipimpin oleh narasumber atau mentor berpengalaman yang secara langsung menyajikan pengetahuan mendalam dan atau proses kerja yang intensif dalam lingkup disiplin mereka.
Pendidikan adalah inti dari visi PSBK, sebagaimana dinyatakan dalam nama padepokan (tempat untuk belajar) dan dalam platform-platform PSBK. Akses dan aksesibilitas pada kesenian untuk masyarakat yang lebih luas sangat penting bagi misi PSBK. PSBK ingin mengeksplorasi peran seni, kekayaan ragamnya dan komunitas yang terkait, serta kontribusi positifnya pada masyarakat. PSBK secara terbuka mengundang masyarakat untuk bersama-sama berpartisipasi aktif dalam eksplorasi tersebut melalui diskusi publik yang terjalin di PSBK. Baik yang membahas karya baru seniman, ataupun terkait dengan tema seni tertentu.
Phone/Fax: (0274) 414404
HP/WA: 082141416252
Email: [email protected]
Barangkali tidaklah keliru bila menyebut bunyi sebagai suatu pertanda; bangkali tersimpan ingatan di sana, bunyi bisa dipandang sebagai semacam dokumentasi kenangan. Suatu gambar bisa tiba-tiba muncul ketika saya mendengar satu lagu, misalnya. Atau, saya bisa mengingat suatu peristiwa lain karena satu lagu yang lain. Pada Jagoan Wagen edisi September 2021 yang berjudul “Bane” oleh Laring, sebuah pertunjukan bunyi, saya menerjemahkan bunyi sebagai identitas zaman, sebab pertunjukan ini seolah ingin menangkap dan menampilkan satu penanda masa yang ada pada kata-kata dan rangkaian bebunyian lainnya. Tapi, kali ini kata tidak hadir sebagai kata pada umumnya, bunyi lain tidak hadir sebagai bunyi itu sendiri. Bebunyian hadir sebagai rajutan makna pada suatu masa dengan bentuk yang berbeda.
Bunyi adalah identitas. Mungkin tidak keliru jika mengandaikan suatu bunyi yang telah akrab dengan kita kemudian distilisasi, tapi tetap bisa dipahami meski dengan cara yang berbeda dengan kita memahami kata pada keseharian. Dalam “Bane” oleh Laring, seolah telinga saya menangkap kata-kata yang sering melintas di media. Dalam konteks ini kata-kata dan bebuunyian adalah objek yang dikembangkan, kata-kata yang hadir sebagai representasi cemas, suntuk, dan sebagainya. Penampil berusaha menangkap bunyi dan emosi masa pandemi itu.
Barangkali, stilisasi atas kata akan mampu menjadi satu rangkuman atas ingatan di masa-masa pandemi, sebab, kata kelak bisa mengalami pergeseran makna. Secara sederhana hal ini bisa dilihat pada kata “covid” itu sendiri. Pada awal tahun 2019, kata itu seolah tidak memiliki kedekatan sama sekali dengan orang-orang di Indonesia, sementara itu, makna kata “covid” kemudian berubah pada tahun 2020. Kata “covid” kemudian identik dengan mengerikan, cemas, isolasi, dan sebagainya. Tapi, meskipun telah melalui stilisasi bunyi, kita tidak bisa menebak perubahan dan muaranya makna atas kata pada tahun-tahun berikutnya.
Pertunjukan bunyi berjudul “Bane” ini barangkali bisa dianggap sebagai suatu usaha untuk menangkap emosi dalam masa-masa pandemi ini, sebuah catatan atas perasaan, atau kelak bisa menjadi sejarah yang tak diungkapkan dengan deretan kata atau kalimat, tetapi dengan bunyi-bunyian yang—barangkali—tetap dari kata-kata yang biasa digunakan. Dalam bebunyian ini, hal yang tampak lebih penting adalah efek bunyi itu. Misal, pembaca berita—yaitu Pralaya—dengan tempo yang cenderung cepat. Lalu, ditabrakkan dengan Pataaka yang lebih banyak menunjukkan emosi melalui bunyi, dan Mamala yang cenderung mengisi lapisan lain dalam pertunjukan bunyi ini: senandung.
Gambar sebagai ilustrasi tentu sangat membantu pemahaman pendengar atas maksud yang dihadirkan. Pemunculan gambar ini di sisi lain menjadi, katakanlah, umpan untuk menarik penonton untuk melanjutkan pertunjukan ini, tapi ada satu hal yang melintas di kepala saya, yaitu subtitel. Barangkali subtitel akan menjadi satu pemandu bagi kawan-kawan tuli, tetapi bagaimana permainan musik ditafsirkan berdasarkan subtitel? Barangkali, subtitel pun musti menjadi satu pertimbangan agar bisa menunjukan tangisan yang dilakukan oleh satu pemain dan bukan tangisan orang lain. Pendanda itu menjadi satu hal penting, sebagaimana partitur dalam orkestra. Sama halnya dengan Pralaya membaca berita dengan serampangan. Bagaimana serampangan itu? Namun, partitur akan menciptakan ruang yang lebih sempit untuk interpretasi, tetapi, itu penting sebagai satu pembacaan atas musik yang sedang dimainkan, yang tentu saja berbeda dengan bunyi-bunyi lainnya.
Pertunjukan ini adalah rangkaian bebunyian yang mencoba menangkap ekspresi, mengolah dan merajut bebunyian yang berseliweran di kala pandemi. Maka dari itu, meskipun bunyi atau kata telah mengalami pengindahan, situasi pandemi masih tetap terasa dalam pertunjukan ini: suara ambulance, suara tangisan, kecemasan, dan bunyi-bunyi yang berkelindan pada masa ini.
Saat layar berwarna hitam putih, tampak seorang wanita berdiri diam menghadap ke depan, di samping kanannya terdapat wanita lain yang bergerak. Gerak wanita tersebut secara perlahan seperti mengukur tubuh wanita yang diam tadi. Setiap jengkal tubuh dilaluinya mulai dari leher hingga bahu kanan, dengan menggunakan jarak sekepalan tangan. Sesampainya pengukuran tubuh pada lengan atas, berubah tak lagi sejengkal atau pun sekepal, melainkan memegang lengan hanya dengan jari telunjuk, lurus ke bawah hingga pada telapak tangan. Kemudian secara langsung, tangan kanan wanita yang diam tadi didorong ke atas menggunakan telunjuk hingga mencapai garis lurus sejajar dengan bahu. Setelahnya, siku wanita yang berdiri diam tadi didorong menggunakan siku wanita satunya hingga tertekuk ke bawah. Gerakan selanjutnya yakni berulang dengan pengukuran lengan kiri menggunakan empat jari lalu menekuk siku tangan kiri. Secara tak langsung, penari wanita yang bergerak tadi seperti memberikan instruksi gerak untuk wanita yang berdiri diam.
Adegan tersebut merupakan salah satu adegan dari pertunjukan daring pada kanal youtube Salihara Arts Center dengan judul Sikut Awak. Pertunjukan ini adalah buah karya Krisna Satya, seniman tari asal Bali yang lolos proses seleksi undangan terbuka program Helatari Salihara tahun 2021. Helatari Salihara sendiri adalah festival tari kontemporer dua tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara. Helatari menampilkan karya-karya tari baru yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia. Pertunjukan Sikut Awak ini disiarkan secara langsung pada kanal youtube tanggal 27 Juni 2021 dan telah mencapai 4,1 ribu views serta 58 likes.
Pertunjukan ini diawali dengan pembacaan sinopsis tari oleh Tony Prabowo, seorang Kurator Tari. Sinopsis dari Sikut Awak ini yakni menelurusi hubungan tubuh dengan ruang yang terinspirasi dari konsep arsitektur Sikut Satak. Selain melihat besaran ruang huni, karya ini juga melihat bagaimana setiap bagian dari tubuh digunakan sebagai alat ukur yang bekerja dengan keunikannya masing-masing. Krisna Satya terlihat membebaskan konsep koreografinya dari kajian yang eksotis dalam penelusuran tradisi yang juga diperkuat oleh penyajian sinematografinya.
Adegan awal pada pertunjukan ini yaitu munculnya penari laki-laki dengan sikap kaki timpuh dan kedua tangan menelungkup lurus ke depan, posisi tubuh menyentuh tanah. Gerakan ini hampir menyerupai salah satu gerakan yoga. Penari tersebut kemudian bergerak perlahan dengan kepala menghadap langit diikuti oleh tubuhnya, lalu kemudian jatuh tersungkur ke depan secara tiba-tiba. Adegan-adegan selanjutnya diwarnai oleh kemunculan tiga penari wanita memakai kebaya polos dengan obi khas wanita Bali, masing-masing kebaya berwarna merah, biru, dan abu-abu, dengan bawahan menggunakan kain jarik tetapi bukan kain jarik khas Bali, melainkan kain jarik Jawa karena salah satunya ada yang bermotif parang. Tiga penari wanita ini bergerak, kadang dengan gerakan rampak ataupun bergerak sendiri.
Pada awalnya, saya mengira bahwa gerak-gerak yang dihasilkan oleh penari wanita menunjukkan tentang bahasa isyarat. Hal tersebut terlihat pada gerak-gerak pergelangan tangan yang diikuti dengan kemunculan jari jempol, telunjuk, kelingking, ataupun kelima jari secara bersamaan. Setelah menelusuri adegan yang menampilkan dua, tiga, maupun empat penari, pertunjukan ini menawarkan dialog gerak yang beragam tetapi masih satu gagasan, yakni mengukur serta memfokuskan pada gerak yang berhubungan dengan siku atau sikut. Entah gerakan dengan posisi berdiri, duduk, ataupun gerak lainnya. Sikut satak sendiri merupakan salah satu istilah yang melekat dalam penataan dan pembangunan rumah tradisional di Bali. Satak dalam bahasa Indonesia berarti 200 (dua ratus). “Umah sikut satak” adalah pekarangan yang memiliki luas keliling 200 depa, dengan ukuran depa sepanjang rentangan 2 tangan pemiliknya (Gunawarman dan Parabawa, 2021). Gagasan Sikut Satak ini dimunculkan oleh Krisna Satya pada gerakan penari dan juga setting tempat pengambilan gambar.
Mulai pada menit kesepuluh, muncul lagi penari laki-laki dalam satu adegan bersama penari wanita berkebaya merah. Hanya berdua saja, mereka menggerakan sikunya saling berbalik arah dan berdialog melalui gerak keduanya. Penari laki-laki memakai kaos tanpa lengan berwarna putih dan celana sebatas lutut berwarna hitam. Berbeda dengan penari wanita yang memakai ageman khas Bali, penari laki-laki di sini justru tidak menggunakan pakaian yang senada. Adegan penari laki-laki dan perempuan tersebut berlangsung selama kurang lebih 5 menit dengan setting tempat yang berbeda-beda. Salah satu adegan yang unik adalah, kedua penari duduk berhadapan di gubug dengan posisi kaki lurus ke depan, saling menautkan telapak kakinya masing-masing hingga tersusun seperti tiga tingkat. Pada tingkatan kaki-kaki tersebut masih tersisa ruang yang mungkin dapat diisi. Ruang-ruang yang dihasilkan oleh gerak tadi pastilah membentuk sudut-sudut tubuh yang tak dapat diukur secara pasti.
Gagasan karya Sikut Awak ini menurut Krisna Satya terinspirasi dari konsep arsitektur Bali Sikut Satak. Tak ayal, ruang-ruang yang digunakan untuk pengambilan gambar pun beragam. Mulai dari area luar ruangan (outdoor) seperti rerumputan, ladang ilalang, area seperti pendhapa Bali yang menandakan ciri khas Bali, gubug, hingga bagunan modern seperti kontainer. Dari situlah menunjukkan bahwa karya ini unik karena berhubungan dengan konsep arsitektur tradisional. Karya ini pun menawarkan pada penonton tampilan gambar yang tidak monoton sebagai pertunjukan daring karena banyaknya setting tempat yang diambil oleh mata kamera. Terdapat beberapa adegan pada pertunjukan ini yang sinematografinya hitam putih (black and white), yang memberikan kesan tertentu pada penonton. Apakah ada makna berbeda dibalik perbedaan warna dalam pertunjukan ini?
Pertunjukan Sikut Awak ini secara keseluruhan memberikan narasi mengenai hubungan antara konsep arsitektur tradisional Bali Sikut Satak dengan konsep ruang yang ada pada tubuh. Ruang-ruang yang ada pada tubuh bergerak dengan mengedepankan gerak-gerak siku sehingga dapat membentuk sudut tertentu. Sudut itulah yang membentuk ruang ketubuhan yang lain. Selain memfokuskan pada gerakan siku, sinematografi yang muncul juga banyak menampilkan gerakan kaki. Sudut yang dihasilkan oleh gerak tadi tidak hanya pada gerak siku, tetapi juga pada gerak antara telapak kaki dengan betis, serta gerak badan dan tangan. Struktur pertunjukan yang menggunakan variasi gerak serta banyaknya setting tempat yang ditangkap oleh mata kamera, membuat karya ini layak untuk ditonton dan diapresiasi oleh penikmat seni yang ingin ‘membaca’ mengenai Sikut Satak dalam perspektif seni pertunjukan.
Sumber :
Gunawarman, A.A. G.R., & Prabawa, M.S. (2021). Kajian Kenyamanan Termal Bale Meten Sakutus di Seminyak, Kabupaten Badung – Bali. Undagi: Jurnal Ilmiah Jurusan Arsitektur Universitas Warmadewa, 8(2), 56-64.
Pertunjukan Di Belantara Tagar, kau Siapa? adalah pertunjukan kolektif dari peserta program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020. Mereka adalah Chairol Iman (Seni Rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (Seni Musik) dari Indramayu, M.Y.A. Rozzaq alias Ozaques (Seni Rupa) dari Yogyakarta, Teguh Hadiyanto alias teHAto (Seni Rupa) dari Jakarta dan satu seniman pendukung/penampil yaitu Chaerus Sabry. Pertunjukan ini disajikan dalam media teater dengan konsep pertunjukan virtual. Yang menonton tidak hanya merasakan aktivitas teater saja tetapi menyaksikan efek visual yang menarik.
Apa sebenarnya yang mereka sampaikan? Pertanyaan tersebut muncul pada menit-menit awal. Diam (dalam kondisi tertentu) dan gerakan yang dilakukan oleh pemain memunculkan banyak pertanyaan. Di samping gerak, kata menjadi media ekspresi yang memperjelas arti dan maksud mereka bergerak. Secara umum pertunjukan ini diformulasikan dari kritik yang dirasakan pemain terhadap sosial media.
Pertunjukan ini membawa saya meluncur pada pikiran saat berselancar di dunia maya, usap layar gawai ke atas dan ke bawah. Berbicara dalam tulisan, ngedumel dalam hati, cinta dalam tombol, suka dalam ketidak suka, menjadi detektif dengan fake account. Kegiatan tersebut dilakukan sekaligus dalam satu genggaman. Isu sosial media memang hal yang menarik untuk terus digali. Manusia Indonesia yang berasal dari sawah, kebun, dan laut harus menyerap dan beradaptasi dengan kegaiban dari sosial media. Para pemain mengadopsi komentar, respon, dan pikiran ketika berselancar di sosial media, menjadi sebuah sajian visual, bunyi, gerak, dan kata.
Gerakan tiktok, jamet kuproy, dan para selebgram dirangkum menjadi satu pola gerakan yang menarik sekaligus jenaka. Terkadang apa yang mereka katakan, ekspresikan dengan gerakan berlawanan, membentuk suatu ironi. Tubuh diproduksi menjadi sebuah malam (clay) yang dibentuk dalam mayanya internet. Perasaan asli sudah tak lagi digunakan, hanya ada rasa yang ditulis algoritma berwujud bentuk, huruf, dan audio visual yang dapat ‘direncanakan’. Manusia dewasa ini dituntut untuk mengikuti bukan diiukit. Arus sungai sosial media yang kencang membawa manusia ke lautan maya yang luas, liar, dan tak terkendali.
Dalam beberapa adegan saya menafsirkan bahwa sosial media sangat mempengaruhi aktivitas manusia masa kini. Sosial media sebagai wadah unjuk gigi para penggunanya. Orang punya, ya mudah untuk unjuk sesuatu, tapi kalau orang tak punya bagaimana? Ironi ini diangkat pula pada beberapa adegan. Banyak orang meniru panutannya di sosial media tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi maupun sosialnya. Akibatnya muncul istilah muka asli dan muka untuk di sosial media. Muka asli tak akan ditampakan di sosial media. Muka yang akan ditampakan, direncanakan serapi dan sebagus mungkin untuk update (unjuk kepada teman dan followernya).
Adegan sisir menyisir antara dua orang, saya artikan sebagai saling mempengaruhi. Sosial media merupakan virus yang mudah sekali menyebar. Hitungan detik informasi apapun akan diketahui oleh manusia di muka bumi ini, dimanapun dan kapanpun. Gawai menjadi pintu dari sumber informasi ini. Selama gawai masih kita scroll ke atas dan ke bawah maka informasi dengan cepat merasuk ke otak dan menghadirkan endorfin yang sangat kita sukai.
Sesuai dengan judul pertunjukan ini Di Belantara Tagar, Kau Siapa? Karya ini mempertanyakan posisi diri di alam maya, di belantara tagar. Secara tidak langsung alam maya merupakan alam kedua yang ‘harus dipelihara’. Perkembengan zaman ini membuat kita dituntut untuk menyeimbangkan alam nyata dan alam maya. Kehidupan nyata tak sempurna jika alam maya tidak dilibatkan. Begitupun sebaliknya. Terkadang pengakuan alam maya lebih penting dibandingkan alam nyata.
Lalu bagaimana seni untuk sosial? “Kami sudah membuat pelangi, kamu kapan?, apakah kamu akan terus menunggu hujan berhenti untuk melihatnya?”. Monolog tersebut berada di akhir bagian dalam karya ini. Kembali lagi, karya ini menanyakan posisi dan peran penonton dalam menggunakan sosial media. Apakah kita layaknya pelangi atau awan mendung atau layang-layang yang kalah? Perubahan akan terus bergerak. Semua tergantung kontrol kita terhadap diri. Selamat berkaca.
Pertunjukan musik Récitation Pour Voix Seuleu No.9 (1977-1978) karya Georges Arpeghis mengingatkan saya pada salah satu karya John Cage yang berjudul Aria (1958). Instrumen utamanya yaitu vokal (suara manusia). Namun, ada yang berbeda di antara kedua pertunjukan ini. Pada karya Georges Arpeghis, sopran lebih ekspresif, tidak hanya pada bunyinya saja tetapi ada aksi di dalamnya. Awal pertunjukan dimulai dengan seorang sopran Bernama Lisa Latin yang melompat ke atas meja. Di atas meja tersebut terdapat beberapa barang, di antaranya boneka bayi, dot, helm proyek, boneka dinosaurus, dan boneka anjing berwarna pink. Di samping meja yang diduduki oleh penampil ada sebuah kereta bayi yang dihadapkan membelakangi penonton. Sepanjang pementasan, sopran beraktivitas di atas meja berbentuk persegi panjang dengan posisi memanjang ke samping. Sedangkan pada karya Aria, John Cage menginterpretasikan sebuah kata dengan notasi grafis yang ia buat. Ia menuliskan notasi disesuaikan dengan ekspresi bunyi yang akan dimainkan oleh seorang sopran. Namun, penggunaan barang dan aksi panggung lebih sedikit.
Secara visual pertunjukan musik ini menarik menjadi tontonan mata. Pertunjukan musik ini berlangsung selama 2 menit 54 detik. Pertunjukan musik ini sekilas seperti sebuah monolog. Saya menangkap kata atau kalimat yang dibunyikan oleh sopran reaksi-reaksi yang diambil dari rutinitas anak-anak. Bunyi yang dihasilkan sopran terkadang unik, lucu, dan berekspresi. Ditambah aksi yang dilakukan di atas meja memanjakan mata yang menonton. Saya kurang paham apa yang dikatakan dan diekspresikan oleh sopran karena bahasa yang digunakan bukan bahasa yang belum dimengerti. Sekilas, saya melihat penyaji mengekspresikan anak-anak yang sedang bermain, malu, senang, sedih, dan manja. Kostum yang digunakan seperti pakaian pengasuh bayi.
Aksi panggung yang penyanyi lakukan bermacam-macam. Mulai dari memindahkan mainan yang ada di atas meja ke arah kanan dan kiri, berbicara dengan salah satu boneka, menutup wajah dengan helm sambil terus membunyikan melodi vokal, hingga menginteraksikan boneka satu dengan yang lain. Pada akhir pertunjukan sopran tertidur dengan mengambil dan meminum dari sebelumnya. Tata cahaya yang digunakan dalam pertunjukan musik ini terbilang datar.
Dalam buku Arsitektur yang Lain, Avianti Armand, menyebut fenomena unik dalam tipologi rumah tinggal kelas menengah atas sejak sekitar akhir delapan puluhan, yaitu berupa dua macam dapur dengan pembagian fungsi juga pengguna sebagai “dapur kotor” dan “dapur bersih”.
Dapur bersih akrab dengan ruang informal yang sanggup mengakomodasi fungsi-fungsi sosial, sementara dapur kotor tidak lepas dari kultur Indonesia dengan kehadiran tubuh pembantu untuk memasak makanan sehari-hari—yang tidak jarang sekaligus menjadi tempat tinggal pembantu rumah tangga. Pembagian dapur bersih dan kotor ini juga disebabkan dari masakan yang dibuat dan hakikat arsitektur pada kultur dan akibat pola hidup yang terus bergeser.
Dalam pertunjukan Dialogia Dapur (https://gugusbagong.psbk.or.id/pertunjukan Rubik pertunjukan festival Gugus Bagong, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja), kita melihat bahan-bahan kasar seperti sayur hijau, wortel, ikan, wajan, galon, dll yang jauh dari kultur “dapur bersih”.
Seperti yang kita tahu bahwa perubahan pola hidup yang terjadi sekarang (saat ini) terus berkembang, dan barangkali perubahan inilah yang menjadi salah satu kata kunci untuk melandasi pertunjukan Dialogia Dapur. Hal itu terlihat dari fungsi-fungsi tipikal dengan pembedaan jenis dapur dipatahkan dengan peristiwa baru bagi segala kemungkinan yang dapat terjadi di ruang dapur; bahwa pembagian dapur kotor dan dapur bersih barangkali dapat menjadi satu dalam peristiwa tertentu; baik tubuh-tubuh yang datang dan pergi, yang singgah bersosial, tubuh yang berdiri memandang fenomena kejadian lampau lewat mata dan dunia yang ada dalam ingatannya, hingga tubuh yang menolak untuk ada di sana.
Pertunjukan Dialogia Dapur dimulai dengan destinasi kamera berjalan masuk ke dalam ruang sempit. Di sana kita melihat tiga tubuh dengan posisi beku dalam dunianya sendiri. Terlepas dari narasi teks yang terdengar seperti menuju jalan lain yang berlawanan pada pola dan ragam plot sampai akhir dengan simpang siur pertanyaan dan pengkaburan tentang ruang tanpa cahaya yang tidak dikenali, kita akan menjurus pada kenyataan di mana laki-laki (saat ini) lebih mendominasi ruang dapur dengan kepopulerannya sebagai koki (yang lekat dengan dapur), justru dipertanyakan ulang dalam pertunjukan ini.
Mengapa demikian? Kita menduga dan merangkak ke arah sana. Pemilihan kolaborator yang entah dikurasi dengan baik atau justru acak, seperti memiliki risiko besar yang tidak dipertimbangkan untuk menampakkan wujud bentuk yang mematahkan pertimbangan gender dalam dapur. Baik telah disebutkan dapur secara spasial dalam kerangka ruang domestik yang menarik untuk dilihat ulang dalam agenda melacak peradaban atau sejarah sosial (mengutip teks unggahan facebook PSBK, 10/November/2020), hal itu menjadi penting dan sayang hanya diwakili dengan kehadiran tiga tubuh laki-laki di antara seorang perempuan sebagai kolabotator pertunjukan.
Agaknya dugaan kita menemui sasaran yang tepat, namun di sini kita masih terjebak dan tidak bisa lari dari pertanyaan fenomenal Roedjito, Skenografer terkemuka, tentang bagaimana kamu mengambil keputusan benda itu harus diletakkan di mana di atas panggung (di sini dapur) pertunjukanmu? Bagaimana kamu harus memilih masuk dari mana (di sini kamera dan perpindahan pemain/kolaborator) ketika pertama kali kamu memasuki panggung? Bagaimana kamu merasakan apakah kamu sedang melangkah, berjalan atau bergerak?
Dan sepertinya kita melupakan arsitektur dan keutuhan identitasnya, ketika memadukannya pada elemen tubuh, history, pengalaman, dan susunan dramatik, sehingga pertunjukan berjalan seperti alenia baru di atas landasan pacu yang lebih dulu telah membekas dan menorehkan keabadian.
Pencapaian artistik arsitektur (sejauh yang saya ketahui) meliputi pemahaman dan penerapan proporsi dan urutan penyesuaian elemen-elemen, yang tidak hanya berperan secara sturktural namun juga memainkan peran artistik dan nilai-nilai tertentu.
Penerapan proporsi tanpa dengan sengaja mengurutkan elemen-elemen sebuah ruang (di sini dapur) mengandung asosiasi dan seperangkat nilai-nilai kepantasan/wajar (batas) dengan kehadiran tubuh yang menubuh atau dengan kata lain tubuh menjadi pusat perhatian penuh yang setiap detailnya baik gerak sampai suara menjadi bahasa prosa atau puisi pada arsitektur (dapur).
Proporsi ini perlu menjaga kestabilannya terhadap pengaruh pilihan elemen-elemen, baik bangunan dengan kualitas ekspresi tubuh yang hadir dalam kamera.
Sampai pada bebunyian lain yang nikmat dihadirkan menjadi ritme yang terstruktur untuk menjamin ketubuhan pemain lain masuk ke dalam peristiwanya sendiri. Kita melihat bagaimana pengaruh itu berjalan seolah meninggalkan narasi yang paling penting, yakni menaturalkannya atau seperti tadi, mengembalikkannya pada identitas ruang atau dengan kata lain, mengurangi risiko ketimpangan kostum dan pemilihan bahasa pada sebuah pertunjukan.
Tentu kita sering melihat bagaimana bahasa canggung menyusup dalam pertunjukan, atau yang sedikit hancur dengan tubuh-tubuh di atas panggung; yang menampilkan pertunjukan tanpa keberanian menggesernya untuk berbunyi dari dalam/menariknya pada geografi pemain sampai wilayah di mana pertunjukan berlangsung, tentu dengan catatan melupakan gender dan memebenturkan perubahan yang terus berkembang sejauh ini.
Ada sebuah pintu masuk untuk menyentuh ruang kebudayaan, di dalamnya terdapat cermin yang memantulkan bentuk-bentuk kebenaran sekaligus kepalsuan.
Apakah sebuah rancangan pertunjukan dapat diterima sebagai realitas? Sementara kita perlu bertanya dialektika alur dari aksi yang melahirkan peristiwa harus logis. Di samping itu, pertunjukan di luar cerita lebih sering menjurus pada hal-hal yang tidak terpahami.
Pertunjukan Berpaling Pulang Kalanari Theatre Movement—yang dapat dilihat melalui link berikut (https://www.youtube.com/watch?v=m3TzG72F3hk)—barangkali merupakan artefak realitas. Sebagaimana tanda-tanda atau simbol tiap peristiwa dari kehidupan nyata; dipilih, diambil, dikemas, lalu dimanipulasi untuk kebutuhan estetik sehingga dirinya, dirinya, dan dirinya yang merupakan perwajahan tokoh menciptakan realitas baru dalam pertunjukan.
Dengan begitu, realitas baru yang dicipta tidak lagi berkaitan dengan realitas sesungguhnya; maka terucaplah bahasa-bahasa lain dengan tubuh-tubuh yang bergerak lain pula. Keputusan menghadirkan bahasa lain seperti dalam pertunjukan Berpaling Pulang, kurang memperhatikan bagaimana kaitannya dengan media yang dipakai (di sini tubuh) justru tampak seperti mengarang bebas.
Seperti juga pendapat Afrizal Malna, dalam sebuah pembicaraan internal lewat forum zoom PSBK, “memilih bahasa yang asing (dalam sebuah pertunjukan) bahkan tidak terjejak di dalam kamus mana pun, menjadi realita kusut ketika dibenturkan dengan tubuh yang memahami akting, baik sebagai kekanak-kanakkan, atau memahami bahan-bahan untuk membuat menu tertentu sampai keluwesan berdangdut ria—sebagaimana pertunjukan Berpaling Pulang berlangsung.”
Dan titik realitas baru yang dihadirkan justru menimbulkan pertanyaan besar, apakah ia lebih menarik ketimbang garis kesataraan yang terpahami dalam konteks menyajikan cerita? Atau justru hadir mengalir dengan tanpa disadari malah menjadi senjata yang dapat meruntuhkan elemen-elemen otonom dalam pertunjukan Berpaling Pulang.
Selain itu kita juga melihat peristiwa yang hadir dalam pertunjukan ini, berkelebat layaknya dunia tumpang tindih; antara keaslian dengan kepalsuan, realitas dengan ilusi, sehingga kita tidak lagi melihat ruang pembatas di antara yang fiksi dan bukan fiksi. Baik dari kesadaran aktor untuk sengaja berbicara dan ditujukan pada penonton di luar kaca, telah membenarkan bahwa ruang-ruang itu hancur dan menjadi jejak rekaman teater atau sering disebut sebagai dokumenter teater.
Dengan batasan-batasan yang telah runtuh kita agaknya sepakat pertunjukan ini seperti sebagaimana miliknya; hidup dalam warna dan keutuhan bahan teks, visual kostum, musik, dan sudut pandang kamera. Hanya saja, jika tadi kita telah sepakat menyatakan pertunjukan di luar cerita lebih cenderung tidak terpahami, di sini kita dituntun pada pemilihan teks atau bahasa yang secara gamblang menutup pertunjukan dengan gaya ungkapan lain atau terpisah dan terkesan bersahaja pada bahasa Indonesia. Bagaimana sebetulnya negosiasi tubuh dan bahasa di dalam pertunjukan?
Bayangkanlah seorang yang tidak dikenal, baru saja pergi membawa tubuhnya ke tempat yang tidak kita ketahui. Setelah beberapa waktu sampai di tujuan, orang itu menoleh jauh ke belakang. Apa yang orang itu pikirkan? Mungkinkah sesuatu yang takut menjadi kenangan atau peristiwa dunia tumpang tindih? Mungkinkah ia akan pulang setelahnya atau membiarkan dirinya terjebak pada ruang-ruang lain setelah menyadari diri dan geografinya ditolak untuk dapat berdiri dan mengakar? Lalu bayangkanlah bagaimana ia berbahasa. Atau hilangkanlah kaki orang itu, sendi-sendinya, tangannya, lehernya, perutnya, wajah sekalian tubunya. Sadarilah bahwa dirinya bukanlah dirinya, dan dirinya adalah artefak dari dirinya. Lalu dengarkanlah suaranya, dengarkan bagaimana ia berbahasa. Kadang-kadang seseorang menolak untuk ada dan begitu pula sebaliknya, untuk tidak ada.
Keterhubungan peristiwa pada pertunjukan In Transit Extended Version dalam unggahan akun youtube Artjog pada 23 Agustus 2021 (https://www.youtube.com/watch?v=GVJ-G4h5IQw), memang sekilas tampak menambah-nambahkan atau menekan-nekankan peristiwa untuk jatuh ke bentuk yang sama.
Tersebutlah sebuah adegan berulang, yakni memasang pintu dan dilakukan lagi dalam bentuk tawaran lain, yakni mengganti daster (dengan tokoh lain). Andai kita mencoba menyusunnya dan membandingkannya dalam satu frame besar, atau bisa kita bayangkan peristiwa itu ditusuk seperti bakso dan tahu dengan satu lidi, penegasan peristiwa tampak tumpul dengan leburnya rupa yang dimaksud, atau dengan kata lain satu-kesatuan di antara satu tusukkan sate, hadir sebagai peristiwa yang menampakkan aneka bentuk, gaya, rasa, warna dan lain-lain.
Peristiwa membongkar pintu dan mengganti daster hidup dengan ruang personal pada apa yang tampak dari teks (gelap/alternative) lain daripada kemungkinan peristiwa itu dapat terjadi di mana pun dan kapan pun, bahkan dengan siapa pun.
Peristiwa-peristiwa dalam pertunjukan In Transit Extended Version selalu terpatahkan dengan peristiwa lain. Layaknya sebuah tangga yang semakin diinjak semakin meleleh bagai lukisan Salvador Dali, semakin naik ke atas, kita semakin meleleh, tanpa harapan, kita dihantam dengan kemapanan peristiwa baru yang dibawa tokoh lain ke atas panggung.
Kecendrungan menyajikan adegan dengan cara menghadirkan awal realita untuk kemudian dipatahkan atau justru dileburkan ke dalam anti klimaks yang berbalik atau berbelok pada realita, menjadikan gambar atau peristiwa yang dibawa semakin jatuh pada pilihan yang seolah salah atau justru benar, dalam logika kehendak tokoh anonim (memainkan perannya).
Bagaimana benda-benda datang dan muncul ikut bersandiwara dalam pertunjukan In Transit Extended Version, merupakan tombak besar dalam pertunjukan ini. Baik visual tubuh, kostum, dan daya ungkap yang hadir lewat bunyi denting atau pun dentang benda terjatuh, grusak-grusuk bebunyian alat bangunan, gesekan tabung gas, air cucian yang diobok-obok, nyanyian-nyanyian, desahan kegiatan seks, dan juga iklan dari TV, serta sepatah kata bahasa seperti; “terus dan ha”, telah membawa narasi lain, yakni sebagai realitas dunia alternative yang tersaji sebagai lukisan bergerak, dari kaum miskin kota. Andai boleh diwakilkan dengan bahasa lukisan bergerak, seperti film Song From The Second Floor, garapan Roy Andersson yang tiap gambarnya lebih banyak meruangi tubuh-tubuh bertahan diam, seperti lukisan. Kegagapan bunyi-bunyian yang hadir baik dari benda dan suara tokoh, menampakkan ruang-ruang palsu dari kehidupan yang diidam-idamkan tiap orang, atau dianggap ilusi atau mimpi buruk yang sesungguhnya ada.
Toh dengan plot, bentuk, pilihan benda, suara-suara dan lain-lain yang meruangi pertunjukan ke dalam realitas drama, para tokoh di dalam pertunjukan ini, terus bergerak ke satu arah yang salah dan juga benar, pada tatanan hidup kaum miskin kota, tanpa merasa terganggu oleh kehadiran benda dan suara-suara/bebunyian, sekali pun itu cukup aneh bila dipandang dari luar. Dan karena suara-suara dan kehadiran benda-benda sebagai ilusi di luar kewajaran, maka semua kegiatan itu dianggap biasa-biasa saja, bersanding dengan realita hidup dengan apa yang diidam-idamkan.
Sebagian orang sepakat, properti yang hadir di atas panggung tetaplah sebuah properti. Baik disentuh dan terlibat secara indrawi juga menimbulkan bunyi yang bagaimana pun, dan sebagainya, keutuhan properti bukanlah sebuah hal yang imajinatif tentang properti itu dapat hidup dan sebagainya pula. Namun, dari pertunjukan ini, kita melihat jalinan keberlangsungan peristiwa-peristiwa pertunjukan justru terjahit utuh dengan kehadiran properti-properti tersebut. Agaknya kita perlu mempertimbangkan ulang kesepakatan atau justru mempertanyakan ulang, karena tiap tokoh anonim dalam pertunjukan ini, membentuk peristiwa setelah berhubungan dengan benda-benda, baik membunyikan, mengaplikasikan (bisa dalam bentuk paling aneh atau salah) dan lain-lain.
Dan terlepas dari itu, ada tiga rangkaian peristiwa besar dalam pertunjukan ini. Pertama prosesi syukuran/doa, kedua proses penghancuran lemari dan ketiga proses membangun ulang sebagaimana keutuhannya, terlepas dari kepamahaman kita tentang sebenarnya lemari itu sendiri.
Baik dalam siaran yang menampakkan panggung depan dan belakang (dalam video), kita dapat melihat kehidupan yang berbeda. Ketersesakkan yang memuakkan, seolah-olah memaksa tokoh-tokoh anonim menyusun dramaturgi lain (di luar pengaruh sutradara mendirect pertunjukan) sebelum muncul ke depan panggung dan bergaya atau bersolek sesuai dengan garis besar peristiwa pertunjukan yang disepakati selama latihan.
Tokoh-tokoh yang muncul dalam satu frame seringkali tidak terlibat satu sama lain, dan malah justru sibuk dengan dunianya, dengan bebunyiannya, dengan ketergesa-gesaan melawan waktu/durasi yang terlihat tidak pernah tersepakati (rujukan tepat).
Menyoal ruang dan waktu juga tidak dapat kita tentukan dan pastikan. Kita hanya bisa melihat simbol-simbol kehidupan di tahun-tahun 2010-an—hingga sekarang—dari motif daster, bohlam, kabel yang dipilih, mukenah, ornament seperti poster dan tabung gas, siaran TV, serta lain-lain. kita dibawa pada kenyataan bahwa peristiwa dalam adegan In Transit bisa terjadi di mana saja dan kapan pun. Ia hidup dengan sendirinya dan seakan-akan di suatu waktu dapat mengancam peradaban hidup yang semula aman dan sejahtera.
Pemilihan minim kata yang hadir dalam pertunjukan ini menunjukkan permainan metafor tergantikan dengan tubuh yang didesak-desak atas rangkaian peristiwa selanjutnya (yang ditunggu-tunggu, atau barangkali juga tidak). Pertunjukan ini bergulat dalam paham konseptual, sehingga mengajak kita untuk melempar keterpanjangan durasi dengan segala kerumitan yang hidup seperti realita. Sampai pada pemikiran tentang kejenuhan yang larut hingga membuat kita jatuh dalam dunia alternative, yang sesungguhnya hampir tidak berjarak.
Pada era sekarang ini, terutama eranya kebiasaan baru covid-19, memanglah tidak dipungkiri untuk membiasakan sebuah pertunjukan panggung berada dalam sebuah rekaman audio visual. Namun, dengan hal tersebut menjadikan ide gagasan semakin “liar” dituangkan dalam sebuah karya. Seperti karyanya Dialogia Dapur ini, sebuah dapur mampu sebagai tempat yang banyak mengandung sebuah makna filosofis. Mulai dari keterasingan seorang laki-laki untuk berada di dapur sampai pada dapur sebagai pusat pertahanan dari rasa lapar.
Dialogia Dapur mampu menarasikan kehidupan dapur yang dialami oleh kebanyakan orang, dan setiap seniman mengeksplorasi diri mereka dalam pertunjukan 28 menit ini di ruangan dapur yang tidak begitu besar. Namun banyak fenomena dapur yang terlewatkan dari gerakan-gerakan tubuh seniman. Awal dari pertunjukan ini adalah terlihat seorang laki-laki berdiri di atas samping , dan ada juga yang berbaring di bawah meja, serta laki-laki duduk di lantai, serta perempuan satu-satunya menjatuhkan dirinya ke lantai dari tembok dapur. Mereka menggambarkan bahwa dapur yang senantiasa tidak sebagai ruang yang privat; suasana dapur yang gelap, sempit, penuh dengan aroma rasa masakan, dan menjadi sebuah hal tabu laki-laki berada di dapur. Fenomena ketabuan seorang pria berada di dapur masih sering saya jumpai, walau kebanyakan di daerah lain hal tersebut sudah selesai untuk diperbincangkan.
Selanjutnya para seniman mengeksplorasi ruang dan beberapa benda atau bahan pakan yang ada di dapur. Ada yang menggunakan tudung nasi, tampa, beras, jagung. Tidak dipungkiri, nampak jelas perempuan menjadi point of view dalam pertunjukan ini melalui gerakan-gerakan tari yang diiringi permainan olahan beras dan jagung yang dijadikan sebagai alunan music ritmisnya. Sebelum menuntaskan menonton pertunjukan ini, saya sudah membayangkan bagaimana disiplin seni setiap seniman tertuang dalam karya ini, namun sayangnya kurang begitu maksimal dalam menuangkan disiplin dasar seninya.
Pertunjukan ini memang lebih banyak menawarkan atau menonjolkan konsep tentang “dapur” itu sendiri, tidak begitu mempersoalkan teknis gerak tari pada umumnya. Seperti ketika perempuan menggonta-ganti pakaiannya dan yang terakhir dipakai adalah pakaian untuk memasak beserta celemek sebagai pelengkap yang digunakan. Hal tersebut mengibaratkan ketika perempuan menuju dapur maka dia sedang melakoni profesi seutuhnya sebagai perempuan, sehingga harus dipersiapkan dengan baik. Dapur juga sebagai tempat saling berbagi, ketika adegan saling menuangkan air dalam gelas laki-laki dan perempuan menggambarkan bagaimana kebutuhan dapur akan nampak jelas ketika berada di posisi kurang atau tidak ada, namun seorang perempuan atau istri dan suami haruslah bisa mengimbangi satu sama lain. Seperti kalimat ketika kebutuhan dapur terpenuhi maka kebahagiaan akan mengiringi.
“Dialogia Dapur” ini berhasil menawarkan gagasan baru terhadap pertunjukan tari, yang tidak melulu menyoal panggung, kostum, makeup, dan unsur-unsur lain dalam sebuah pertunjukan, namun ada yang lebih penting dari itu yaitu bagaimana seorang kurator dan seniman mampu menarasikan konsep dalam fenomena-fenomena yang sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Kalanari mampu melihat dan menginterpretasi fenomena yang sangat dekat dengan kehidupan kita semua yaitu “pulang” ke dalam sebuah pertunjukan. “Pulang” disini tidak hanya sekedar berbicara tentang lokasi, dari wilayah satu ke wilayah lain, tetapi lebih esensial dari itu, misalnya pulang menuju cita-cita atau masa depan yang didambakan.
Pada event Festival Kebudayaan Yogyakarta, Kalanari Theatre Movement menyajikan pertunjukan “Berpaling Pulang” secara daring. Lokasi dari pertunjukan berdurasi 29 menit adalah di pedesaan yang tampak jelas persawahan yang indah.
Ketika pertunjukan dimulai nampak serorang perempuan mengenakan baju kaos dan dibagian bawah menggunakan daun-daun pisang yang sudah mengering yang bernama mba Oca mengejar-ngejar adeknya yang mengenakan atribut plastik di bagian bawah dan di atas kepala, mengajak untuk segera pulang. Tidak lama kemudian, muncul pemeran yang namanya mba Melani mengangkat sapu lidi semari meniupkan pluit, kostum yang dikenakan pun senada dengan kedua saudaranya yaitu daun pisang kering dan plastik di lengan dan kepala. Sontak ketiga perempuan bersauda itu melakukan gerakan-gelakan yang dipimpin oleh Mba meilani, setelah itu, mereka bermain Petak Umpet, kedua kakaknya sembunyi dan adeknya yang mencari, tidak lama kemudian adeknya keget melihat kedua kakaknya muncul dengan membawa tas untuk merantau kembali, tidak kuasa adeknya menangis karena dia akan merasakan kembali bagaimana kesepian dirinya yang hanya tinggal bersama ayah. Sosok bapak sudah berdiri di depan persawahan, memandangi anaknya dari kejauhan semari melambaikan tangan, sebagai bentuk perpisahan. Aktifitas yang dilakukan oleh ketiga bersaudara ini selalu terniang ketika mereka tidak bersama, seolah-olah mereka melakukan aktifitas bersama padahal hanya bayangan dari kerinduan yang memuncak.
Aktifitas kedua saudaranya ketika di tanah rantau tergambar juga dalam pertunjukan ini. Ada yang sebagai koki, ada juga yang sebagai mahasiswa. Monolog yang mereka lakukan memakai bahasa yang tidak pada umumnya atau sangat tidak dimengerti, mengibaratkan kegundahan seorang perantau yang merindu kampung halaman yang tidak akan mampu dimengerti oang lain, sebelum merasakan hal yang sama. Melani setelah belajar langsung bernyanyi-nyanyi sambil berjoget dan tiba-tiba mba Melani melihat sebuah tali tambang dan tali karet, seketika itu juga langsung teringat ketika bermain bersama saudara-saudaranya yang lain, namun lama-kelamaan bayangannya itu sirna, ternyata mba Melani hanya bermain sendirian. Seketika terdiam dan merasakan sedih jauh dari keluarga.
Tidak hanya sekedar anak yang merindu tanah kelahiran, saudara, dan ayahnya, namun seorang ayah juga sangat meridukan akan kehadiran anak-anaknya. Terlihat pada adegan tali-tali mengikat pinggang anak-anaknya, dan seorang ayah menarik tali tersebut dan sembari mengatakan pulang. Pada akhirnya anak-anaknya pun mengikat tali kepada ayahnya, sampai terlilit penuh dengan tali, sang ayah berkata :
“ kala semesta rasaku padamu tiba ke muara, kala kita tak saling bercanda mencari makna, kala semesta rasa menjalin cahaya, kala kita duduk bersama meperbincangkan pesan sebuah pertunjukan dan telah usai baru saja. Kala kita berserah pada waktu dan segala yang tiba, kala itu kita ucapkan selamat untuk segala yang datang dan yang pulang”
Semari kalimat terakhir yang dilontarkan ayah pada pertunjukan ini adalah sebuah alunan musik dan lirik Minang. Minang sangat kuat budaya merantaunya terutama seorang laki-laki. Ketika usia sudah diatas 17 tahun laki-laki minang sangat diharuskan untuk berada diluar rumah. Hal tersebut penuturan langsung dari beberapa teman yang berdarah minang. Mungkin dari sana juga pertunjukan ini merespon bagaiamna budaya merantau orang Minang. Fenomena merantau sekarang ini memang sangatlah tidak asing terdengar oleh kita. Berbagai macam cerita orang lain yang diharuskan merantau, seperti karena pekerjaan, jodoh, maupun sekedar menginginkan suasana baru. Berpaling pulang pun biasanya karena berbagai tuntutan yang mengharuskan seperti itu. Kalanari dalam pertunjukannya “Berpaling Pulang” ini menyadarkan kita bagaimana getirnya orang yang merindu maupun yang dirindukan terhalang oleh jarak, kepulangan maupun kedatangan menjadi sesuatu yang sangat dinanti
Dialogia Dapur dibuka dengan monolog yang mempertanyakan sesuatu yang sangat purba, yaitu cahaya. Pertanyaan ini dihubungkan dengan tempat dimana orang merasa paling aman – rumah. Kita dibawa menelusuri sebuah rumah dengan pencahayaan remang dimana kita bertemu ketiga penampil – seorang perempuan dan dua laki-laki.
Bagaimana seseorang dapat mengenali rumahnya, seluk dan kelok serta ruang-ruang dalam rumah bila tidak ada cahaya? Pertanyaan ini kemudian diberi jalan keluar alternatif, bahwa meskipun kita jadi buta tanpa adanya cahaya, kita akan bisa berjalan dan menemukan dapur. Aroma bahan-bahan mentah di dapur akan memandu penciuman kita menuju ke sana.
Gender sangat berperan dalam pertunjukan ini. Interaksi antara para penampil dan adegan yang dilakukan oleh masing-masing lakon menunjukkan stereotip identitas biner – lelaki dan perempuan – sekaligus menantang penonton akan batas-batas biner tersebut di ruang produksi bernama dapur. Diantara interaksi tersebut, adegan pertama yang memantik gagasan adalah ketika dua lakon lelaki sudah berada di dapur – seseorang berdiri di atas meja wastafel dan yang lain duduk di lantai seolah sedang mengukur jarak antara tubuhnya ke sudut-sudut dapur – seorang perempuan jatuh dan mendarat dalam ruang dan waktu tersebut. Ia tidak pergi ke dapur namun dilempar ke dapur. Ia harus ada di sana. Menyusul mendaratnya sang lakon perempuan ke dapur, lakon yang berada di atas wastafel menyalakan kran air dan yang lain masih dengan gerakan yang sama, perempuan ini mengangkat galon, menggendongnya, memutar galon tersebut diatas dadanya, menumpunya di atas kaki, hingga ia sampai di depan wastafel dan mengatakan “Sebentar lagi Bapak bangun,” dan ucapan itu membuat mereka semua bergegas. Tampaknya ucapan itu menandakan akhir dari babak pertama.
Pada adegan akhir babak pertama tersebut, kita dapat melihat relasi masing-masing lakon dengan ruang dapur. Ada yang selalu duduk di atas meja seolah enggan menapak pada lantai dapur yang mungkin dianggap kotor, sembari bermain air yang menetes dari kran, dengan peralatan-peralatan masak yang perlu dicuci menumpuk di bawahnya. Sementara cara berada sang perempuan adalah dengan menggendong galon, yang bagi saya menceritakan bagaimana ia menumpu, menggendong, dan membawa bebannya di dapur dengan indah, hingga membuat kewajiban itu terlihat seperti cara hidup, bukan lagi beban atau kewajiban. Pula jika kita perhatikan dari awal video hingga akhir, hanya lakon perempuan inilah yang berjalan di dalam dapur. Dialah satu-satunya yang tidak berada di dalam dapur, namun ada bersama dengan dapur.
Pada babak berikutnya kita melihat lakon perempuan menutup pintu, kemudian di balik pintu itu ia berkali-kali mengganti pakaian, seperti tidak menemukan pakaian yang sesuai. Sesekali ia mematut diri di depan cermin, memperhatikan bagaimana sehelai pakaian terlihat pada tubuhnya. Adegan ini menunjukkan bahwa di dapur perempuan bekerja keras, dan ketika ia melangkah keluar dari dapur, ia harus mempersiapkan peran yang lain.
Penyajian pertunjukan dengan format video ini terasa rapi dan apik dengan pergerakan kamera yang tak terjeda, mengalir, dengan ritme lambat. Secara visual, suasana dan atmosfer emosi video ini dirajut dengan konsisten, namun sayangnya kerapihan kerja sinematografi ini malah membuat intensitas tidak mencapai klimaks. Pada akhir video terlihat pintu berkali-kali dibuka dan ditutup. Setiap kali pintu dibuka kita melihat seseorang di dapur, dalam posisi-posisi tubuh yang acak di luar gestur sehari-hari, misalnya headstand, plank, dan sebagainya. Pada momen ini warna cahaya dapur berubah-ubah namun selalu remang Saya tidak menemukan pentingnya menampilkan warna-warna itu selain untuk kepentingan estetis. Terlepas dari visual sinematografis, Dialogia Dapur berhasil merangkai adegan demi adegan yang membunyikan gagasan penciptaan karya tersebut.
Setelah memproses realita yang baru, yaitu geliat seni pertunjukan harus diberhentikan sementara karena tatap muka dan perkumpulan menjadi sangat berisiko pada awal datangnya pandemi di tahun 2020, para pegiat seni pertunjukan tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk kemudian menemukan jalan keluar untuk terus eksis – yaitu melalui pertunjukan virtual. Peristiwa imigrasi besar-besaran panggung teater dan tari ke ranah digital menurut saya perlu dicatat dan diarsipkan.
Dalam pertunjukan virtual berjudul Musim Ketiga: Tempat Terbaik di Dunia, Teater Ghanta juga mengambil langkah adaptif terhadap situasi pandemi. Pertunjukan yang digelar pada kanal YouTube ini diunggah pada bulan November, dimana mereka membuat istilah untuk cuaca pada bulan ini, yaitu “Musim Ketiga”. Di saat banyak pertunjukan virtual yang seolah memindahkan panggung konvensionalnya ke layar digital, Teater Ghanta berusaha membawa seluruh ketubuhannya untuk menyelinap pada media daring tanpa menjadi terlihat sebagai sebuah penyangkalan. Judul yang diajukan mensyaratkan penontonnya untuk merasakan dengan tubuh fisik – “musim”. Hal ini, saya rasa, adalah tantangan yang tidak mudah, namun Teater Ghanta berhasil menaklukannya.
Memindahkan pengalaman tubuh dan berusaha menjangkau syaraf sensorik penonton melalui layar bukanlah usaha yang cenderung akan berhasil, melainkan sebaliknya. Seni pertunjukan, dalam hemat saya, jika tidak “berhasil”, kemungkinan lainnya adalah membuat orang mengernyitkan dahi, bukan karena gagal memahami, tetapi karena tidak menawarkan apapun. Agar tulisan ini tidak membuat anda mengenyitkan dahi karena bingung, gambaran singkat tentang apa yang ditampilkan oleh video ini ada baiknya tidak kita lewatkan:
Adalah Ipeh, perempuan bersorban yang menyapa kita di awal pertunjukan. Ipeh menyinggung soal lamanya pandemi, dan mengatakan bahwa ia sedang mengeksplorasi fitur-fitur perangkat lunak – yang mana eksplorasi Ipeh akan software inilah yang akan membawa kita bertualang hingga akhir pertunjukan.
Ipeh mengungkapkan bahwa di Jakarta terdapat tiga musim: kemarau, penghujan, dan banjir. Ia kemudian teringat akan temannya yang sangat lekat dengan musim ketiga, dan menelepon dengan fitur video (video call) Imam, teman Ipeh yang tinggal di Kampung Tanah Rendah, Jakarta Timur. Jika diringkas, Musim Ketiga: Tempat Terbaik di Dunia menceritakan kekhawatiran Ipeh terhadap Imam yang tinggal di area yang secara niscaya terdampak musim ketiga tersebut, dari tahun ke tahun. Namun, alih-alih mendengarkan saran Ipeh, Imam terus meyakinkan sahabatnya bahwa tempat tinggalnya adalah tempat terbaik di dunia.
Pertunjukan yang gegap gempita dengan efek-efek visual, tebak-tebakan, dan “joget tutorial berenang” ini seperti membuka ruang diskusi antara para lakon dan penonton, tentang penanganan banjir, yang mereka sebut sebagai “musim ketiga”. Adegan tutorial berenang di kali menjadi satir yang cerdas dalam naskah yang digarap secara kolektif ini. Pertunjukan ini ringan dan menampilkan adegan-adegan populer tanpa jatuh dalam banalitas yang menjemukan. Pada akhir video, credit title menyebutkan “tim riset”. Peran tim riset sangat vital dalam pertunjukan ini dan kontribusi itu sangat terasa dalam video. Tiang-tiang untuk mengikat tali tambang lengkap dengan info ketinggian air, yang merupakan inisiatif warga kampung sendiri – adalah salah satu kontribusi riset yang secara tidak langsung memantik pertanyaan-pertanyaan di benak penonton. Untuk saya pribadi, pertunjukan virtual ini membuat saya mempertanyakan peran pemerintah dalam hal kemaslahatan warganya, pula memantik gagasan tentang relasi tubuh dengan ruang dan kaitanya dengan kelas sosial.
Pertunjukan ini menyadarkan kita bahwa pengalaman tubuh itu menghasilkan kemampuan-kemampuan yang unik, yang tidak normatif. Hal ini membuat anda yang hidup tanpa ancaman menjadi tidak terlalu berbangga diri. Misalnya, sering berenang di kolam renang mungkin tidak membuat anda menjadi perenang hebat di kali; apalagi di Kampung Tanah Rendah Kebon Pala ketika banjir.
Kemampuan yang dibangun oleh upaya menyelamatkan diri ini terlihat ketika para lakon memperagakan cara berenang di antara kasur, batang pohon yang besar dengan ranting-rantingnya, dan mesin cuci yang mengapung dengan kecepatan tinggi karena arus yang kuat. Intelegensi ketubuhan juga tampak pada inisiatif warga dalam mendirikan tiang-tiang untuk mengaitkan tali penyelamat. Perbedaan kelas sosial menghasilkan tubuh-tubuh yang berbeda. Hal ini membuat saya berpikir bahwa kita melihat benda-benda secara berbeda, dipengaruhi oleh keseharian dan latar belakang kita. Dengan kata lain, pola interaksi kita dengan berbagai hal tidak seragam – dan tepat inilah yang membuat seni pertunjukan masih menarik untuk disaksikan.
Tips dan trik yang berbasis lokalitas ini dalam hemat saya sangat menarik untuk diangkat dalam pertunjukan. Adegan-adegan tersebut telah melampaui penampilan teatrikal yang berusaha membawa penonton untuk masuk ke dalam semesta yang dibangun oleh sutradara di atas panggung. Semesta yang dihadirkan dalam video ini memang eksis, secara objektif ia ada dan dialami oleh banyak orang. Ketika anda mematikan video dan memutuskan untuk datang ke lokasi pertunjukan ini, anda benar-benar akan menemukan tiang-tiang tersebut dan kemampuan berenang di kali itu memang dipelajari atau setidaknya dianggap penting di sana. Ide Teater Ghanta untuk meleburkan naskah teater dengan fakta, atau semesta pertunjukan dengan banalitas keseharian – menurut saya perlu diapresiasi.
Para peramu pertunjukan ini cukup jeli dalam menyadari adanya kolektivitas intelegensi, atau lebih tepat dikatakan kolektivitas cara berada pada tubuh-tubuh warga Kampung Tanah Rendah –menarik untuk diangkat dalam sebuah pertunjukan. Mereka tidak lagi menganggap banjir sebagai sebuah bencana, namun sebuah keniscayaan, yang tidak menyenangkan, namun juga tidak perlu ditakutkan. Bayangkan jika banjir dengan kekuatan dan ketinggian seperti itu terjadi di sebuah perumahan elit; mereka tidak akan bisa mengatasinya tanpa bantuan dari luar perumahan. Mereka mungkin tidak memiliki tubuh kolektif yang mampu menghasilkan karya cipta seperti tutorial berenang di kali dan menciptakan jalur evakuasi. Langkah-langkah problem solving yang terjadi di Kampung Tanah Rendah bukanlah hasil dari pemikiran satu orang, namun hasil kesadaran berketubuhan secara kolektif. Sehari-hari ketika sedang tidak banjir, warga kampung menyapa dan mengobrol dengan satu sama lain di gang-gang sempit di kampung. Mereka saling mengenal dan tidak ada kecanggungan, nyaris tidak ada batas antara satu sama lain. Implikasinya, ketika mengatasi suatu bencana mereka semua bergotong-royong dan gotong royong inilah yang membuat terjangan banjir tidak terasa berat, atau setidaknya tidak seberat jika hal itu terjadi pada para penduduk perumahan elit.
Adegan demi adegan membentuk sebuah jalinan yang sekilas tampak tidak konsisten. Misalnya pada awal video kita disuguhi narasi yang sangat verbal tentang musim ketiga, lalu kita menyaksikan tutorial berenang di kali yang sangat erat terkait dengan topik, namun berikutnya kita diajak untuk bermain tebak-tebakan profesi disusul dengan lomba ketahanan tubuh anggota teater Ghanta. Jika dilihat pada level permukaan, adegan tiga dan empat tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik utama. Namun mungkin itu cara sang sutradara menjahit antara banalitas dan makna-makna simbolis. Dugaan ini erat kaitanya dengan semesta perkampungan Tanah Rendah. Sebuah perkampungan di bibir sungai di Jakarta memang menawarkan cerita yang sama sekali berbeda dengan Sudirman Central Business District, bagian Jakarta yang lebih dikenal khalayak daripada kehidupan di gorong-gorong dan perkampungan pinggir sungainya. Hal ini tentu membuat kita buta referensi akan mata pencaharian penduduk yang hidup di perkampungan semacam Kampung Tanah Rendah Jakarta Timur, atau Kalipasir di Jakarta Pusat.
Keunikan ekosistem di bagian Jakarta yang tidak mengkilap ini berusaha dieksplorasi oleh Teater Ghanta, salah satunya melalui adegan menebak pekerjaan seseorang yang sedang duduk santai menikmati pemandangan sungai. Tebak-tebakan ini dalam hemat saya menjadi alternatif yang cerdas dari metode wawancara, yang terlalu mudah dan kurang nakal. Lelaki yang sedang ditebak profesinya, Bang Nemy, dengan lantang mencetuskan bahwa menurut undang-undang, kita semua berhak memiliki tempat tinggal. Warga yang hidup di pinggiran sungai seolah menyuarakan pasal dalam undang-undang ini Bersama Bang Nemy, keras-keras, dan suara itu terdengar baik dalam ramah tegur sapa dan obrolan para perempuannya di gang-gang, maupun dalam tangis dan teriakan ketika air meluap dan menenggelamkan rumah. Kita semua berhak memiliki tempat tinggal.
Pada akhirnya, pertunjukan Musim Ketiga: Tempat Terbaik di Dunia berhasil membuka ruang dialog dan memantik gagasan akan hal-hal di luar isi pertunjukan. Kini kita yang menonton video ini tidak lagi melihat sungai dengan sama. Kita juga tidak bisa lagi buta akan keberadaan pemukiman-pemukiman semacam Kampung Tanah Rendah di Jakarta, atau di kota lain. Mereka terdesak untuk hidup di zona berbahaya. Risiko itu mereka ambil, maka hidup di pinggiran sungai dan di bawah jembatan menjadi hidup yang mensyaratkan survival skill. Namun hidup bukan hanya ketegangan dalam usaha bertahan. Mereka juga membangun relasi sosial, bersenang-senang dan berkasih sayang. Saya yakin kehangatan dan kepedulian antar warga di Kampung Tanah Rendah tidak bisa kita rasakan di perumahan mewah atau kompleks perkantoran gedung-gedung pencakar langit. Dalam kesusahan ada keberuntungan terlihat jelas pada kehidupan Imam dalam video pertunjukan ini.
Teknik sinematografi yang dicapai oleh pertunjukan ini dalam hemat saya lebih dari estetika merekam atau membingkai realita. Teater Ghanta dalam pertunjukan ini menggabungkan dramaturgi teatrikal dengan teknik narasi dalam film dokumenter. Adalah sesuatu yang pantang dalam dokumenter untuk sekadar mengandalkan wawancara dalam mengungkap realita. Dibutuhkan jam terbang dan kreativitas agar cerita dapat terungkap dengan sendirinya selama para filmmaker mengikuti subjek. Dalam video ini, baik Ipeh maupun Imam saling membantu mendorong bergulirnya cerita yang mengungkap perjuangan dan kekayaan hidup warga Kampung Tanah Rendah tanpa terlihat menyutradarai. Pada akhir tulisan ini perlu saya utarakan bahwa nama Kampung Tanah Rendah adalah nama buatan untuk suatu area pinggir sungai di bilangan Jakarta Timur. Hal ini mengingatkan kita bahwa bagaimanapun hasrat teater itu untuk mempotret atau mengangkat realita ke atas panggung, ia bukan reportase. Dalam pertunjukan ini, Teater Ghanta berkolaborasi dengan Teater Kubur, dan Karang Taruna setempat. Tipisnya tirai antara ruang fiksi dan non fiksi dalam pertunjukan ini telah menaikkan standar seni pertunjukan secara daring di tengah himpitan keadaan.
Presiden Suharto dalam Sidang Istimewa pada Agustus 1975 menegaskan bahwa anak-anak muda dan warga negara butuh senam! Kemudian, para guru dan pelajar berbaris di halaman sekolah mengenakan seragam olahraga ketika matahari belum lagi mencapai ujung galah, mereka bersama-sama melakukan Senam Pagi Indonesia yang digiatkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Lalu menyusul kemudian adanya Senam Kesegaran Jasmani yang biasa disingkat SKJ, yakni SKJ ‘84, SKJ ‘88, SKJ ‘92, dan yang terakhir sebelum Orde Baru paripurna adalah SKJ ‘96. Benarkah senam yang digalakkan di era Orde Baru itu adalah upaya negara mendisiplinkan warganya untuk hidup sehat?
Di dalam Indonesian Dance Festival/IDF 2020.zip “Daya: Cari Cara” kita saksikan SKJ 2020 atau Senam Keragaman Jasmani 2020 oleh Gymnastik Emporium. Yang tampak dari pertunjukan tersebut adalah memori-memori di dalam arsip ketubuhan. Dari narasi-narasi yang dihadirkan melalui pertunjukan ini, kita diajak untuk tidak sekadar menyaksikan orang-orang berseragam olahraga beragam warna yang sedang senam, tetapi juga ditampilkan potensi keterlibatan penonton untuk mengetahui dan menyelidiki masa lalu darinya. Hal yang perlu digarisbawahi adalah SKJ 2020 hadir di atas panggung dalam suatu kesadaran untuk disaksikan penontonnya dengan mata kamera.
Sebagai sebuah karya yang berdiri di antara seni tari dan gerak senam, SKJ 2020 hadir sebagai praktik koreografi dengan struktur dramaturgi sebagai karya seni. Gerak tubuh yang dihadirkan Gymnastik Emporium merupakan ekspresi kata-kata kunci pilihan yang dengan kuat menampilkan unsur-unsur Orde Baru. Yang ingin disampaikan adalah adanya kontrol negara terhadap tubuh warga melalui senam.
Aktivitas kebugaran oleh Gymnastik Emporium ini boleh jadi adalah upaya menghadirkan untuk pertama kalinya. Produk pemerintah Orde Baru yang telah menjadi memori kolektif warga negara Indonesia ini kemudian disusun menjadi gerak koreografi yang diciptakan bersama-sama dengan melibatkan guru-guru olahraga yang mengalami peristiwa di masa lalu itu. Memori dan tafsir atas gerak SKJ di masa Orde Baru yang direpresentasikan pada SKJ 2020 pun kini tampil dengan kemerdekaannya sendiri-sendiri.
Ada tujuh dari berbagai latar belakang, berbagai tingkat usia, dan berbagai ingatan pengalamannya terkait SKJ pada masa Orde Baru. Penampil pertama menamai dan membayangkan bahwa gerakan-gerakan yang dibuatnya adalah perwujudan iman dan taqwa, bahwa setiap gerakan memiliki arti yakni selalu mengingat dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kemudian masukkan ke dalam hati, lalu mengimplementasikan kepada perilaku dan seluruh makhluk di muka bumi. Penampil kedua adalah seorang penari kelahiran tahun 1989 yang mengingat SKJ sebagai tugas guru yang diberikan kepadanya untuk berdiri di depan menjadi pemimpin siswa yang lain senam di halaman sekolah. Ia merasa seperti sedang menari.
Penampil ketiga menilai SKJ 2020 akan menunjang kebugaran sebagaimana rangkaian SKJ pada era Orde Baru. Kebugaran yang dimaksud adalah tubuh yang sehat dan cadangan tenaga untuk aktivitas-aktivitas yang lainnya. Ia berharap agar masyarakat Indonesia akan bugar dan roda kehidupan akan semakin maju. Penampil keempat menampilkan ingatannya dalam gerak yang terilhami istilah dan peristiwa “Bersih Lingkungan”. Istilah tersebut merupakan kiasan yang muncul di era Orde Baru yang bisa diartikan penyeragaman, karena semua yang berbeda akan dibersihkan: berbeda pandangan politik, berbeda ideologi, dan perbedaan-perbedaan lainnya yang biasanya bersifat diskriminatif.
Penampil kelima, seorang perempuan yang semenjak kecil memiliki hobi menari. Ia kemudian memupus hobinya itu demi senam. Ia membuat gerak senam ritmik sportif yang mengandung unsur tari. Baginya, seorang yang suka menari bisa melakukan olahraga senam untuk mendapatkan kebugaran tubuh dan menari untuk mengekspresikan hobi. Penampil keenam adalah seorang anak pelatih senam. Ia lahir pada tahun 1982. Semenjak kecil sudah karib dan belajar senam dari ayahnya yang merupakan seorang instruktur SKJ di sebuah kabupaten yang mengajarkan senam tersebut ke pelosok-pelosok desa. Keberadaan instruktur menjadi penting karena pemerintah hanya mengedarkan musik dalam kaset pita. Dahulu ia menikmati senam sebagai senam tanpa mengaitkan dengan politik dan negara. Tetapi kelak ia jadi tahu bahwa melalui SKJ, negara telah turut membentuk tubuh yang sehat masyarakat, selah menjadikan masyarakat menjadi bagian dari proyek raksasa dengan slogan “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”.
Penampil ketujuh mengingat Orde Baru dalam istilah yang identik dan sangat populer dengannya, yakni “Repelita”. Nama-nama senam yang dibuat pada masa orde baru berurutan, seperti Senam Pagi Indonesia 1975, SKJ ‘84, SKJ ‘88, SKJ ‘92, SKJ ‘96. Boleh jadi senam ini dibuat oleh negara untuk menyiapkan tubuh warganya untuk bisa menyesuaikan dengan tahap-tahap Repelita.
Di dalam SKJ 2020, Abdi Karya dan Ari Dwianto selaku koreografer bersama lima penampil lain, yakni Andreas Agus Arjatmo, Budi Santosa, Ervinamurti Kurnisetyowati, Kinanti Sekar Rahina, Umi Hariyani menghadirkan gerak parodi tubuh-tubuh optimis ala Orde Baru. Tangan terkepal dengan kaki tak berhenti berjalan di tempat, diikuti gerak pundak, disusul tangan dengan beragam gerak memanjang di atas kepala kanan dan kiri, lalu gerak-gerak yang lebih keras dan bertenaga memainkan tangan dan siku, kemudian telapak tangan mekar berbarengan dengan koor dan teriakan-teriakan, hingga seluruh bagian tubuh bergerak. Nasionalisme warga negara berusaha ditampakkan dalam beragam tarian dari berbagai daerah di Indonesia lengkap dengan musik khas yang mengiringinya. Tarian tradisional itu seperti memuncaki rangkaian senam SKJ 2020 sebelum gerak pendinginan yang tenang.
Ruangan sunyi tanpa musik sama sekali. Kosong sepi. Tubuh yang gemetar. Wajah yang sedih. Mata yang nanar. Trauma! Yang dimaksud barangkali trauma terhadap tragedi-tragedi yang terjadi di masa Orde Baru, terutama pada masa-masa menjelang orde itu runtuh. Trauma yang dihadapi tubuh aktor. Tubuh yang ngewel dan sengkleh, saya tidak tahu apa bahasa Indonesia yang pas untuk kedua kata ini. Tubuh yang rusak. Tubuh yang dipelintir. Tubuh yang kejang. Tubuh yang bergejolak. Tubuh yang terancam. Tubuh yang bergerak menghalau ancaman.
Lalu dialog dalam film Warkop DKI menghentikan dan mengusir lelaki berseragam olah raga warna biru itu. Warkop DKI, kita memahaminya kini sebagai parodi yang memiliki hubungan erat dengan nasib rakyat dan politik di masa Orde Baru. Dari arsip Warkop DKI yang hadir sebagai audio ini kita ingat adegan-adegan senam Dono, Kasino, Indro, dan perempuan-perempuan berpenampilan seksi dalam film-film mereka yang diproduksi di masa Orde Baru itu.
Tapi, apakah Senam Kesegaran Jasmani telah menjadi produk budaya buatan pemerintah Orde Baru? Kita pun tahu, Orde Baru berusaha menghabisi gerak dan golak yang bukan senam. Sementara itu, warga negara Indonesia tidak hanya membutuhkan kesegaran jasmani saja, tetapi juga kesegaran rohaninya. Itu.
Teater dimulai dari realita yang berbaur dengan fiksi. Tapi, kali ini kita duduk di hadapan teater posmodern yang berupa alih wahana dari atas panggung ke dalam kamera. Kita sedang menyaksikan batas antara yang nyata dan yang asli pada sebuah pertunjukan berupa representasi relaitas yang bukan realitas dan fiksi yang bukan fiksi.
Di Belantara Tagar, Kau Siapa karya kolaborasi lintas disiplin dan eksplorasi kreatif empat seniman peserta program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020. Karya yang ditayangkan pertama kali dalam gelaran Jagongan Wagen PSBK pada 25 September 2020 ini digagas dan dimainkan oleh Chairol Imam (Seni Rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (Seni Musik) dari Indramayu, M. Y. A. Rozzaq (Seni Rupa) dari Yogyakarta, Teguh Hadiyanto (Seni Rupa) dari Jakarta, dan satu seniman pendukung/penampil yaitu Chaerus Sabry. Sesuai judulnya, pertunjukan ini mempresentasikan parodi-parodi perilaku warganet dalam bermedia sosial.
Di dalam dunia nyata, manusia berada dalam kebingungan karena dunianya semakin tidak asli. Sementara pertunjukan karya Seniman Pascaterampil ini menampilkan hal itu di dalam panggung sandiwara. Di sinilah konsep metafiksi dan metateater bekerja. Setiap reportoar tagar merepresentasikan kenyataan yang tak asli itu dalam jarak dekat. Sebuah pertunjukan yang menampilkan tagar dan peristiwa yang viral dan tidak asing bagi penonton, meski tidak semua dapat dimengerti.
Didasari dan disadari bahwa Di Belantara Tagar, Kau Siapa hadir sebagai siaran daring, bukan untuk ditonton dari depan panggung. Lalu, kita saksikan di dalam pertunjukan ini lima aktor yang bukan aktor tanpa ekspresi, datar seperti sebuah layar. Kita saksikan tidak adanya unsur-unsur artistik teater sekaligus sebagai keadaan itu sendiri. Kita saksikan sebuah plot berjalan tanpa plot. Kita saksikan ketiadaan-ketiadaan itu dalam dramaturgi gerak karikatural dan narasi-narasi para aktor di ruang yang terang dan gelap –putih dan hitam. Kita saksikan gambar-gambar tangkapan kamera yang dirangkai oleh seorang penyunting. Kita saksikan sebuah pertunjukan yang dipahami sebagai pertunjukan yang tidak perlu dipahami sebagai pertunjukan. Sebagai representasi kehidupan nyata, pertunjukan ini seakan memberi penjelasan bahwa sebagai manusia kita tidak perlu bersusah payah memahami parodi-parodi di dalam kehidupan yang paradoks ini.
Sebagai pertunjukan metateater Di Belantara Tagar, Kau Siapa mewujud sebagai sesuatu yang ganjil dalam bentuk-bentuk yang kaya. Referensi kehidupan nyata dalam pertunjukan ini adalah media sosial. Teater ini mengajak penonton menertawakan realitas sosial di masyarakat saat ini (terutama di masa pandemi) yang (di)habis(i) oleh media sosial. Narasi-narasi kritis –kita juga bisa menyebutnya sebagai kritik– berupa komedi, chaos, dan kasuistik dalam pertunjukan ini adalah parodi yang digunakan sebagai kritik terhadap perilaku masyarakat. Menariknya, dalam salah satu repertoar terdapat narasi-narasi berbahasa Jawa. Narasi yang disampaikan itu bukan berasal dari peristiwa di media sosial melainkan peristiwa sosial di masyarakat, khas Yogyakarta (?).
Latar setiap aktor menjadi faktor penting bagi pertunjukan berdurasi lebih kurang 30 menit ini. Sebagaimana telah disebutkan di awal, pertunjukan ini disusun oleh Seniman Pascaterampil yang tiga di antaranya berlatar seni rupa dan seorang berlatar seni musik. Oleh karenanya, disadari atau tidak, warna dan gerak yang didukung oleh pengambilan gambar dan penyuntingan yang memadai menjadikan unsur visual karya metateater ini secara sinematografi menarik. Pertunjukan metateater semacam ini memberi kemungkinan dan peluang bagi teater modern keluar dari kejumudan dan mendapat ruang pembebasan berekspresi yang baru. Kehidupan orang-orang yang gegar budaya di era digital dan internet yang serba cepat ini masih terbuka untuk dieksplorasi.
Menyaksikan pertunjukan ini, rasanya seperti sedang menjelajahi media sosial. Entah mengapa dan bagaimana saya bisa mengikuti lompatan-lompatan narasi dan gerak di setiap repertoar tagar. Tapi, bukankah demikian realitas kita sebagai warganet? Itu.
Terpal biru itu mengingatkan saya pada terpal biru yang sama untuk mengerudungi sound system dari terpaan hujan pada suatu hajatan di sebuah kampung.
Osing adalah penolakan. Komposisi musik berdasar peristiwa sejarah di Banyuwangi karya seniman bunyi Yennu Ariendra ini menawarkan perlawanan itu. Ia menolak “keindahan” dan menggantinya dengan sesuatu yang giris.
Namun, sebelum lebih jauh, saya ingin bertanya, bagaimana sebaiknya kita menikmati musik? Sebab, musik adalah bunyi di tengah sunyi. Bukankah pada dasarnya musik tercipta untuk didengarkan, bukan untuk disaksikan?
Lepas dari persoalan itu, menghadapi produksi Teater Garasi ini, saya memperoleh satu pandangan yang lain. Menara Ingatan tidak sedang menghadirkan musik sekadar sebagai musik, melainkan pertunjukan musik. Teater Garasi menyebutnya teater-musik -bukan teater musikal- yang semestinya disaksikan dan didengarkan.
Menara Ingatan hadir dalam tiga babak. “Wulan Andung-Andung” membuka babak pertama. Suasana “pesisir yang biru dan terbuka” seketika hadir. Lengking suara Silir Pujiwati bikin merinding. Yennu Ariendra mengiringinya dengan musik elektronik, seorang lainnya (Nadya Hatta) memainkan keyboard piano, dan seorang lagi (Andi Meinl) memainkan drum. Di awal pertunjukan, saya bayangkan bahwa kita akan melihat dan mendengar musik sebagai rangkaian simbol-simbol yang tak terputus.
Benar saja. Panggung telah jadi Banyuwangi. Lalu narasi-narasi sejarah -lebih tepatnya tragedi - Indonesia di Banyuwangi dinyanyikan Silir Pujiwati dan dinarasikan Gunawan Maryanto. Penjelajahan bunyi-bunyian logam muncul di sini. Yennu Ariendra menabuh saron, yang lain memainkan triangel. Tabuhan drum dan efek musik yang lain menebalkan suasana yang makin tegang. Maka jadilah sajian musik kontemporer yang beragam melalui alat musik tradisional dan efek suara.
Suara pintu yang digedor-gedor, memperlihatkan ketakutan. Trauma. Ada peristiwa di balik (suara) pintu yang digedor-gedor itu. Kemudian, denting keyboard piano mengantarkan kita pada suatu tragedi disusul musik yang menghentak-hentak, dan teriakan, dan nyanyian berbahasa osing. Lagi-lagi lengking suara Silir Pujiwati -berlatar suara adu pedang dalam perang- bikin bergidik.
Apakah babak pertama sudah berakhir? Belum. Penonton dibuat berkutat dengan bunyi-bunyian “bernada” keras. Tamparan demi tamparan pada kulit terbang, seperti menggampar muka sendiri. Mereka berdiri di antara bunyi tetabuhan itu. Perubahan-perubahan instrumen musik yang tak lazim bermunculan. Kali ini besi dari alat-alat pertanian: cangkul, plancong, garu, sekop, dan sabit menguraikan musik sekaligus peristiwa yang keras dan tajam tentu saja. Bunyi yang “bersuara” itu seperti berbicara sebagai bahasa dan musik yang bersetubuh. Babak pertama pun usai.
Musik sebagai rangkaian simbol-simbol yang tak terputus itu pun makin jelas arahnya. Babak kedua dibuka dengan sayatan-sayatan yang nggegirisi ketika Yennu Ariendra menggesekkan sebilah bow pada selembar plat besi. Saya rasakan sayatan itu di ulu hati. Rasa sakit yang makin perih saat disiram air garam oleh efek suara debur ombak dan angin pantai.
Perih itu sirna tatkala musik elektronik-dance memunculkan sosok-sosok manusia berkepala binatang. Saya kurang begitu memahami genre musik apa yang tengah dimainkan. Tak ada Banyuwangi dalam fragmen ini selain kemunculan arti kata osing dalam tulisan “ora”, “tidak”, dan “no”. Yennu Ariendra memainkan gitar. Asa Rahmana menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Tak ada nuansa kesenian rakyat di situ.
Saya menyadari, atau lebih tepatnya saya menafsirkan, bahwa perubahan-perubahan dan lompatan-lompatan yang terjadi merangkum peristiwa demi peristiwa, dan itulah yang ditekankan dalam pertunjukan ini. Suasana jadi naik turun, bahkan anjlok. Kita bisa mendengar musik yang chaos, namun seketika kita nikmati juga alunan lagu yang merdu -meskipun tetap menawarkan nada minor.
Lalu koplo membuat orang-orang berkepala binatang berjoget. Menariknya, lagu koplo ini didahului dengan narasi tentang Menak Jingga dan Kencana Wungu pada masa Banyuwangi masih bernama Blambangan. Ah, Mas Cindhil… maaf, tiba-tiba saya teringat Mas Cindhil.
Lagu koplo pesisir mBanyuwanginan ini jelas memiliki kekhasan yang berbeda dengan dangdut koplo Pantura. Tetapi coba dengar dan perhatikan, tetap meriah dan tetap dramatik. Dari babak kedua saya dapat melihat teks demi teks yang dideskripsikan dalam genre musik yang beraturan, bukan musik “asali” yang tercipta dari interpretasi berdasar teks sebagaimana babak pertama.
Suara gemuruh sorak-sorai di tengah kegelapan. Babak ketiga dimulai dengan tembang “Seblang Lokenta” yang dilantunkan Silir Pujiwati. Seorang penari Banyuwangi bersampur merah bermahkota bunga-bunga meliukkan tubuhnya mengikuti petikan dawai gitar Yennu Ariendra. Hanya ada tiga orang itu di atas panggung. Melodi itu timbul tenggelam serupa gelombang di muka lautan. Kita bayangkan suasana yang mesra di teras rumah sore hari setelah hujan reda.
Tapi, tragedi seakan tak bisa dihindari. Ketika orang-orang kembali ke panggung, kita dengar musik bernada ancaman. Sesuatu yang misterius. Derit pintu. Bayang-bayang berlintasan. Tirai berdarah.
Suasana jadi ngeri. Mistis. Alunan musik, lantunan tembang, dan kelebat wayang bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi. Suatu kekacauan. Ketika mayat-mayat terbungkus tikar pandan berjatuhan, suasana jadi makin mencekam. Suara frekuensi (saya tidak memiliki ungkapan yang pas untuk bunyi itu), debar jantung, dan napas yang terengah-engah, menandai kematian-kematian. Seorang penari Banyuwangi kembali. Kedua tangannya menggenggam keris dan mengacungkannya ke langit. Menara Ingatan pun paripurna.
Kita tak kesulitan mendapatkan efek dramatik dari pertunjukan ini. Seperti sudah disinggung sebelumnya, lompatan-lompatan terjadi di sana-sini, di setiap adegan, di setiap babak. Tapi, Yennu Ariendra tidak sedang mengokulasi simbol-simbol dari narasi yang digagasnya. Emosi yang dihadirkan melalui musik, setidaknya yang saya rasakan, membuat gambaran-gambaran predikatif tentang narasi besar itu dapat diikuti serta dapat dipahami.
Tersisa samar-samar suara “ah…” dari seorang penyanyi, beriring musik tradisi Banyuwangi.
Dua orang perempuan saling berlarian di arena pentas seperti pekarangan rumah, salah satunya yang memakai baju kuning menggunakan plastik di kepala dan pinggangnya sebagai aksesori. Sementara perempuan berbaju hitam menggunakan aksesori seperti dedaunan pada pinggangnya. Tak lama, muncul perempuan berbaju merah dari dalam rumah membawa sapu yang digunakan sebagai tongkat dan dia melakukan gerakan baris berbaris diikuti dua perempuan tadi. Kemudian mereka bertiga melakukan sedikit gerakan seperti senam, lalu melakukan hompimpa untuk bermain petak umpet. Dialog ketiga perempuan tadi menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Jawa.
Adegan tersebut merupakan adegan pembuka dari pertunjukan teater Berpaling Pulang pada kanal Youtube Festival Kebudayaan Yogyakarta yang diunggah 27 Oktober 2021. Pertunjukan ini menampilkan empat orang tokoh yang diperankan oleh Mathori Brilyan, Mailani Sumelang, Rosalia Novia Ariswari, dan Adhitya AW. Tak lupa pula ketiga pemusik yang juga berada dalam arena pertunjukan yakni Siska Aprisia, Jenar Kidjing, dan Sarinah. Ketujuh orang tersebut tergabung dalam Kalanari Theatre Movement. Kalanari Theatre Movement adalah kelompok independen di Yogyakarta yang menggunakan teater serta seni pertunjukan sebagai pintu masuk (sekaligus pintu keluar) untuk membaca, menginterpretasi, dan memproduksi pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Adegan dalam pertunjukan itu pun berlanjut, muncul monolog oleh seorang laki-laki yang sedang menyirami tanah-tanah. Saya menduga dia berperan sebagai bapak dari ketiga perempuan tadi. Monolognya terdengar seperti ini:
Kala kita memulai sebuah perjalanan, pada semesta rasaku padamu, terbitlah kerinduan, bersama, bergandengan tangan. Terkadang memang kita tidak harus pulang, namun kau harus pulang. Kemudian, kapan kita akan pulang?
Setelah monolog tadi, perempuan berbaju kuning mulai mencari kedua kakaknya yang sedang bersembunyi bermain petak umpet. Saat dua perempuan tadi muncul, mereka telah berganti pakaian dengan membawa beberapa tas, seolah mereka berdua akan pergi. Pembacaan saya, kedua kakak perempuan tadi pergi merantau. Sang adik yang berbaju kuning tadi lalu menangis sedalam-dalamnya, sedih akan kepergian kedua kakaknya, tak ada lagi yang bisa diajak bermain olehnya. Dan ia pun kemudian bersenandung, bernyanyi, diikuti oleh ketiga pemain musik.
Pada suatu adegan yaitu sang adik sedang menyirami tanaman di pekarangannya, tokoh tersebut melakukan percakapan dengan penonton melalui mata kamera. Ia berkeluh kesah kepada penonton bahwa dirinya sangatlah rindu kepada kedua kakaknya. Tak lupa pula ia menceritakan tentang dirinya, cita-citanya, kesehariannya, serta cerita tentang kedua kakak perempuannya yang sedang berada di tanah rantau.
Setelahnya terdapat adegan dengan tokoh sang kakak pertama sedang bekerja menjadi koki. Dengan menggunakan bahasa yang tak jelas, seperti pelafalan ‘rokukuyaya’ yang dibolak-balik, dia mengambil gambar atau take video seolah sedang membuat video tutorial memasak. Adegan berlanjut dan berganti suasana ibarat kos-kosan, menunjukkan kakak kedua yang sedang kuliah. Dia pun juga bermonolog menggunakan bahasa yang tak jelas, tetapi kali ini pelafalannya ‘usalaupala’. Kakak kedua berbaju merah tadi mulai bersenandung menggunakan pelafalan itu. Entah bagi saya, penonton mengerti atau tidak pelafalan yang aneh tadi, tapi yang jelas itu bermakna atau mengisyaratkan sesuatu.
Konflik dimulai ketika para tiga anak tadi muncul bersamaan dalam satu arena pentas, mulai melakukan gerak dengan menggunakan tali pada tubuhnya. Ketiga tokoh perempuan yang berperan sebagai anak, melakukan gerakan dengan tali diikatkan ke tubuhnya masing-masing. Tak lama, pemain yang berperang sebagai bapak memegangi ketiga tali anaknya. Dan mereka berempat saling mengejar satu sama lain, dengan bapak sebagai porosnya. Mereka mengitari bapaknya seolah memarahi bapaknya dengan bahasa tertentu. Kemudian, mereka berempat berhenti dengan posisi tali-tali terikat pada tubuh mereka. Kemudian satu penyanyi masuk dalam arena pentas, mencoba membantu mengurai tali-tali yang mengikat pada tubuh mereka. Lalu si bapak bermonolog lagi:
Kala semesta rasaku padamu, tiba ke muara,
Kala kita tak saling bercanda mencari makna,
Kala semesta rasa menjalin cahaya,
Kala kita duduk bersama memperbincangkan pesan sebuah pertunjukan yang telah usai baru saja, Kala kita berserah pada waktu dan segala yang tiba,
Kala itu, kita ucapkan selamat untuk segala yang datang dan yang pulang.
Tali yang ruwet tadi telah terurai dan mereka telah melepaskan diri dari tali-tali itu, begitulah akhir dari pertunjukan teater ini. Pembacaan saya tentang teater ini, bagi saya, orang tua adalah rumah. Dari doa-doa mereka ada diri kami yang sekarang berdiri di sini. Dari pertunjukan inilah, saya merasa terdapat sumbu-sumbu keharuan yang tak terjelaskan dan menyentuh kalbu. Keharuan akan ingatan saya pada orang tua, tempat di mana kita selalu (akan) pulang. Pertengkaran seru tentang ketiga adik-kakak ini menjadi bumbu asyik yang mewarnai dialog di antara mereka. Terdapat hierarki persaudaraan yang bisa disoroti dalam pertunjukan ini.
Melalui pertunjukan teater tersebut, banyak sekali yang saya dapatkan. Tentang kepulangan, rumah, orang tua, mimpi, perantauan, doa, jalan hidup, dan rasa haru. Semua hal tadi sangat berkaitan dengan keadaan atau bahkan kehidupan kita saat ini, seperti rasa rindu akan rumah. Rumah yang bisa berarti tempat tinggal, atau bahkan bisa jadi orang-orangnya yang kita sebut “rumah”. Kesinambungan dari awal hingga akhir pertunjukan menjadikan ini sebuah tontonan yang layak untuk dinikmati dan direnungi. Tidak lupa pula, dengan disuguhkannya lagu-lagu serta musik-musik yang membuat drama ini terlihat seperti drama musikal. Satu yang pasti, Kalanari Theatre Movement kali ini menghadirkan sebuah bentuk teater yang lain, dan menawarkan pesan mendalam pada penontonnya.
Kerinduan terhadap kampung halaman—bagi perantau—barangkali seperti benang yang mengikat. Terkadang benang itu begitu kuat menarik kita untuk pulang, kadang pula hal seperti itu harus dilawan karena masih ada hal-hal yang harus dikejar, yang menjadi alasan merantau. Bayangan ini telah divisualkan dengan baik dalam pertunjukan “Berpulang Paling”. Sebagaimana mimpi, begitulah visual adegan yang dikonstruksi dalam pertunjukan ini. Antara hayalan dan realita tidak memiliki batas yang jelas. Kita hanya akan dituntun pada pemahaman tertentu yang barangkali tidak memerlukan metode khusus: Siapa pun bisa terhubung dengan pertunjukan ini.
“Berpulang Paling” dimulai dengan adegan tiga orang anak bermain di halaman. Tiga-tiganya adalah perempuan. Mereka bersaudara, yang paling sulung adalah Oca, lalu Meilani, dan gadis yang paling kecil adalah Sarinah. Mereka menggunakan hiasan berupa daun pisang dan plastik, persis seperti anak-anak yang mencoba menggunakan apa pun di sekitarnya untuk dijadikan mainan. Namun suatu ketika, Oca dan Meilani merantau, dan tinggalah Sarinah dan ayahnya yang Briliyan yang tinggal di rumah.
Pertunjukan berjudul “Berpulang Paling” yang dipertunjukkan pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2021 ini dipertunjukan secara daring. Format pementasan teater ini tampak seperti film, namun, tidak seutuhnya, sebagian lagi mirip seperti vlog yang biasa kita lihat di channel youtube tertentu; misalnya, ketika Sarinah telah ditinggalkan oleh Oca dan Meilani untuk merantau. Ketika itu terlihat Sarinah yang menyiram tanaman dengan sedikit jengkel karena ia hanya sibuk mengurus tanaman sementara saudarinya bisa merantau dan sukses di matanya. Sementara itu, satu-satunya aktor lelaki pada pertunjukan itu adalah Briliyan yang berperan sebagai ayah.
Di bagian awal pertunjukan Kalanari Theatre Movement ini, cerita berlangsung berdasarkan sudut pandang Sarinah. Di mana adegan yang diciptakan yaitu, ketika ketiga saudari itu bermain petak umpet dan Sarinah yang betugas berjaga, tiba-tiba yang keluar adalah Meilani dan Oca dengan pakaian yang lengkap dengan koper dan alat-alat lain. Ketiga aktor ini menghadirkan situasi perpisahan yang menyedihkan. Bisa dibayangkan, ketika kita harus berpisah ketika sedang menikmati sesuatu, seperti kehilangan sisa makanan yang sengaja disisihkan untuk dimakan terakhir.
Dalam pertunjukan ini, dihadirkan pula eksplorasi suara. Tampaknya mereka hendak menunjukan bahwa perasaan tidak hanya bisa dipahami melalui bahasa: kata dan kalimat. Lebih dari itu, bunyi sendiri mampu mewakili perasaan. Hal ini bisa dilihat pada bagian Meilani telah berada di perantauan. Ia berdialog seolah-olah sedang menjelaskan sesuatu. Sialnya, saya seolah paham tanpa bisa menerangkan kembali. Tetapi, terkadang, bahasa tertentu tidak membutuhkan penjelasan sebagaimana bahasa verbal yang hadir dengan batasan-batasannya. Kalanari tampak mendefinisikan bunyi sebagai alat komunikasi, tidak hanya kata, pasalnya, bunyi-bunyi itu kemudian dijadikan semacam lirik dalam bahasa kata.
Pementasan ini diakhiri dengan adegan yang membuat saya menebak: adegan itu adalah hayalan atau realitas? Barangkali, bagi perantau, kerinduan atas rumah adalah hal yang berkelindan di antara dua hal itu: realitas dan imajinasi. Perasaan-perasaan semacam itu yang kemudian menggerakan si perantau atas keputusan tertentu. Pertunjukan ini berakhir dengan adegan di mana si pemeran ayah telah terikat dengan ketiga anaknya. Mereka diikat dengan tali yang cukup besar dan warna-warni, setelah itu mereka terkesan saling menarik, hingga akhirnya berpelukan. Kemudian, salah seorang penyanyi perempuan masuk dan melepas ikatan-ikatan tersebut.
Simbol-simbol seperti tali, misalnya. Barangkali bukanlah satu teks yang harus ditafsirkan, tetapi, sebagai penonton, saya merasa langsung terhubung dengan isu tersebut, tanpa berusaha memahaminya dengan alis mengkerut. Barangkali, hal itulah yang menunjukan keberhasilan satu pertunjukan: meskipun menggunakan bahasa atau visual yang tidak lazim dalam keseharian, namun penonton mendapat impresi tertentu yang memberi satu perasaan.
Sorot lampu menyorot panggung dari gelap ke terang, kemudian muncul satu laki-laki memakai sepatu yang diselimuti dengan plastik berwarna biru. Laki-laki tersebut menyibak kubangan air di depannya menggunakan kakinya. Setelahnya, dia mengeluarkan dua alat sedot wc dari saku belakang celananya dan dibawa di tangan kanan dan kiri. Kedua alat tersebut diarahkannya ke kubangan air dan saat ditarik menimbulkan bunyi. Dia memainkan alat sedot wc tersebut satu persatu maupun secara bersamaan seolah sedang memainkan alat musik tertentu. Muncul dua perempuan dari kanan dan kiri panggung, setelahnya disusul dengan dua laki-laki dan masing-masing dari mereka membawa dua alat sedot wc. Kelima pemain tersebut secara bergantian memainkan alat sedot wc dan membuat irama tertentu seolah mereka sedang bermain alat musik.
Adegan tersebut merupakan bagian pembuka dari pertunjukan daring pada kanal youtube dengan judul Stomp Live – Part 6 – Dance & Fight. Pertunjukan ini diunggah pada 16 Januari 2013 pada kanal youtube WorldMusic dan telah mencapai 3,3 juta views serta 19 ribu likes. Stomp sendiri adalah grup perkusi yang berasal dari Brighton, Inggris yang menggunakan tubuh dan benda untuk menciptakan pertunjukan baik teater, musik, ataupun tari menggunakan ritme, akrobat, dan pantomim. Pada penampilannya, Stomp menggunakan instrumen sehari-hari yang fungsi sebenarnya tidak digunakan untuk bermain musik. Akan tetapi karena kreativitas dari kelompok tersebut, terciptalah bentuk perkusi yang berbeda. Seperti pada pertunjukan ini menggunakan alat sedot wc dan juga tongkat kayu untuk irama perkusi.
Adegan di atas panggung pun berlanjut, kelima pemain tersebut memainkan alat sedot wc secara bergantian dan berurutan, dengan membuat sebuah pola irama tertentu. Tak hanya pola irama yang diperdengarkan, kelima pemain tersebut juga menunjukkan pola lantai di panggung seperti garis lurus horizontal, dua garis lurus horizontal depan belakang, dan lingkaran. Gerakan para pemain untuk bisa membunyikan alat tersebut dengan cara badan sedikit merunduk, kedua lutut ditekuk, lalu dua alat sedot wc diarahkan ke lantai, dan ditarik sehingga menghasilkan bunyi yang terkesan unik. Terkadang salah satu atau dua pemain memutar badannya, saling bertatapan mata, atau bergerak tak sesuai dengan pola sebelumnya.
Kelima pemain tadi keluar panggung, dan adegan pun berlanjut. Muncul dua laki-laki masing-masing dari mereka membawa kain pel, tetapi yang satu dengan kain pel yang terlampau besar. Mereka berdua membersihkan kubangan air yang ada di panggung dengan kain pel tersebut. Sembari mengepel panggung, iringan musik pun terdengar seperti kayu yang dipukul yang semakin lama semakin keras. Kemudian dari sisi belakang panggung muncul delapan pemain membawa tongkat kayu di tangan kanan yang tingginya kurang lebih sekitar dua meter, dan kayu kecil di tangan kiri untuk memukul tongkat kayu tersebut. Dua dari mereka adalah perempuan, dan enam laki-laki yang lain memiliki badan kekar. Secara bersamaan mereka berdelapan membunyikan tongkat tersebut dan menghasilkan bunyi yang cukup unik untuk didengarkan.
Semula saya mengira bahwa ini adalah pertunjukan teater, karena aktivitas yang dilakukan pemain di atas panggung seolah sedang berdialog dengan pemain lain melalui teriakan kecil ataupun melalui mimik wajah mereka. Kemudian saya menyadari bahwa ini merupakan pertunjukan musik perkusi dengan menggunakan alat-alat yang tak sewajarnya. Harmoni yang dihasilkan dari ketukan alat sedot wc dan tongkat kayu tersebut menciptakan susunan irama yang statis dan nyaman untuk didengarkan.
Elemen repetisi yang kuat pada pertunjukan ini dihasilkan dari bunyi tongkat-tongkat tersebut. Irama yang dihasilkan itu mengingatkan saya akan musik dari Safri Duo. Safri Duo sendiri adalah duo perkusi elektronik berasal dari Denmark yang musik-musiknya hits di era 2000-an, seperti lagu “Played A Live”. Setelah saya pikirkan, dari kedua grup ini baik Stomp maupun Safri Duo sama-sama grup perkusi. Yang membedakan keduanya adalah apabila Safri Duo menggunakan alat elektronik seperti keyboard dan sejenisnya untuk penampilan musiknya, sedangkan Stomp berhasil menciptakan perkusi dari alat-alat yang bisa dibilang ‘tidak biasa’.
Stomp tak hanya memperdengarkan pertunjukan perkusi, tetapi juga koreografi pada penampilannya. Koreografi yang terlihat seperti gerak rampak bersamaan, terkadang ada gerakan melompat dari salah satu atau dua pemain, melompat dengan salah satu kaki, ataupun gerakan memutar. Pertunjukan yang berdurasi 9 menit ini, menunjukkan klimaksnya pada menit ke-8. Saya menyebutnya klimaks, karena para pemain berpasang-pasangan memainkan tongkatnya seperti beradu senjata, tetapi masih dengan irama yang statis dan sesuai tempo. Pertunjukan diakhiri dengan hentakan tongkat yang diletakkan di panggung secara bersamaan dan dihujani oleh tepuk tangan dari penonton. Secara keseluruhan, penampilan karya dari Stomp Live yang mengkolaborasikan dimensi gerak dan musik perkusi tersebut sangatlah menarik. Perpaduan setiap elemennya baik dari properti, pemain, kostum, dan gerak dirasa mampu untuk dapat dinikmati segala kalangan karena cukup menjadi sebuah pertunjukan perkusi yang unik dan berbeda.
Ragam komposisi dan kreasi baru yang dihadirkan oleh Krisna Satya lewat bukan semata eksperimen yang menggali hubungan antara tubuh dengan ruang dalam konteks arsitektur, namun juga menawarkan re-interpretasi atas konsep ruang dan tubuh dalam seni pertunjukan selama ini, khususnya di Bali.
Melalui komposisi gerak minimalis serta detail-detail kecil, tiga penari menyikapi ruang, bidang, serta unsur-unsur penyertanya dengan penuh penghayatan. Pilihan gerak tubuh mereka mencerminkan respon mereka atas bidang maupun ruang yang ada yang disekitarnya; komposisi gerak terbentuk berdasarkan tata ruang dan bentuk bidang seturut konsep Sikut Satak dan Sikut Gegulak yang melandasi koreografi tari ini. Luas bidang atau bentuk ruang akan menentukan seberapa jauh penari bergerak, sebesar apa gerakan yang dapat diambil, ataukah pilihan bagian tubuh mana yang menjadi fokus utama komposisi gerak—semuanya terukur dan harmonis.
Terlepas dari konsep tata gerak yang menghubungkan antara filosofi tubuh dengan arsitektur atau ruang, Sikut Awak dapat pula dibaca sebagai sebuah upaya atau cara baru menyikapi relasi antara ruang dan tubuh pertunjukan Bali—yang selama ini lebih mengemuka dengan nuansa euforia dan serba semarak; gamelan, tata busana, juga komposisi gerakan-gerakan besar yang mencolok. Tubuh penari dalam pertunjukan tari Bali yang umumnya dikenal selama ini harus menguasai panggung yang luas dan harus tetap nampak oleh penonton dari kejauhan. Sementara pada Sikut Awak, Krisna Satya memulai komposisinya dengan gerakan-gerakan minimalis, bahkan tak jarang ia hanya memainkan gerak-gerak tangan dan jemari seakan tengah mengukur depa demi depa bidang melalui anatomi tubuhnya. Ini merupakan sebuah komposisi yang ritmis dan hening, jauh dari kesan kesemarakan—seakan kita diajak kembali untuk melihat serta menyadari setiap inchi ragawi dan mengembalikannya kepada gerak paling esensi.
Ruang dan Panggung Hari Ini
Apa sesungguhnya yang disebut panggung dan ruang pertunjukan hari ini? Apakah hanya terbatas pada ruang dan panggung pertunjukan di gedung kesenian, studio tari, atau amfiteater?
Krisna Satya menjadikan balai-balai, taman, lobi, hingga alam terbuka sebagai panggung pertunjukannya. Komposisi geraknya tidak terbatasi pada satu jenis panggung atau ruang tertentu, melainkan dapat melebur dan menyatu dengan keseluruhan bidang, ruang berikut unsur-unsur dimana pun ia ditampilkan. Tata kamera dan pengambilan gambar pertunjukan pada berbagai latar panggung tersebut mampu menampilkan kekuatan dan detail gerak secara rinci—menawarkan keluasan kemungkinan visual dan narasi yang mendukung keseluruhan komposisi tarinya.
Sebagai koreografer, Krisna Satya bukan hanya menghadirkan sebuah komposisi gerak, namun juga sebuah re-interpretasi atau cara baru dalam menyikapi ruang sebagai panggung pertunjukan. Panggung pertunjukan kita hari ini tidak lagi serta merta dapat dibaca sebagaimana ragam pertunjukan dan panggung konvensional selama ini—melainkan telah ‘bertumbuh’ dan berkembang dalam konsep ruang, waktu, dan bentuk presentasi yang berbeda. Demikian pula komposisi tari Sikut Awak ini, tidak mudah untuk dikhidmati dalam pendekatan atau cara pandang umumnya selama ini sewaktu menikmati pertunjukan tari; ia menawarkan penghayatan dan kontemplasi untuk kembali melihat kepada Diri dan ‘komposisi’ di luar diri.
Lima pemuda asyik bermain-main dengan gerak tubuh, postur, serta ‘ocehan’ masing-masing. Mereka tidak saling bersahut atau menjawab dialog, justru terkesan mereka sedang mengembara di dunia imaji masing-masing. Blocking, moving, maupun mimik mereka seolah tak bertaut satu sama lain, namun justru sebaliknya; apa yang dihadirkan oleh Seniman Pascaterampil, diantaranya Chairol Imam (Seni Rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (Seni Musik) dari Indramayu, M. Y. A. Rozzaq alias Ozaques (Seni Rupa) dari Yogyakarta, Teguh Hadiyanto alias teHAto (Seni Rupa) dari Jakarta, serta Chaerus Sabry ini boleh jadi sesungguhnya merepresentasikan pula pola interaksi dan komunikasi kita hari ini, berikut bagaimana sebuah pesan, citra, serta ‘dialog’ dibangun di ruang media sosial.
Para penampil bergantian memeragakan gerak dan mengucapkan dialog-dialog acak. Sebuah ragam presentasi dan estetika seni pertunjukan yang terkesan absurd, dan tentu tidak mudah untuk dapat dinikmati tanpa merujukkannya dengan konteks makna atau pesan yang diusungnya.
Sebagaimana judul pertunjukan ini, Di Belantara Tagar, Kau Siapa?, setiap elemen gerak hingga unsur dialognya ibarat sebuah pesan pop-up yang kerap kita temui di media sosial atau peramban dalam jaringan. Gambar-gambar, rekaman, atau pesan iklan yang seketika muncul entah bagaimana dan dari mana, hadir berulang merundung keseharian kita. Setiap kali membuka media sosial, kita bisa saja disuguhi iklan rumah, sekilas berita hari ini, foto liburan, sudut kafe paling instragramable, gosip selebritas, hingga aneka tips yang hadir secara acak serta tidak kontekstual.
Di sisi lain, segara akan dapat kita tangkap pesan yang hendak divisualisasikan oleh kelompok ini—sebuah pertanyaan tentang posisi sang diri dalam kelindan dunia maya dan realitas virtual yang menyertainya. Bila dalam penjelasan pertunjukan ini mereka menyebutkan soal pemertanyaan Identitas, saya lebih jauh membacanya sebagai dampak turunan dari bagaimana kehadiran media sosial mengubah konsep kita atas Realitas.
Ada kenyataan yang mungkin tidak akan mudah untuk dijawab; yakni konteks media sosial serta ruang maya, sang diri sebagai pribadi yang hadir, eksis, sampai pada persona atau citra diri yang lain, hingga sang aku yang mungkin juga anonim, bukan siapa-siapa, bahkan barangkali tidak pernah ada. Singkatnya, media sosial tidak pernah menghadirkan realitas yang bersifat tunggal, melainkan ada lapis demi lapis realitas yang berpilin membentuk sebuah realitas baru.
Realitas media sosial kita hari-hari ini dipenuhi oleh tagar atau hastag, seolah-olah telah menjadi representasi kehadiran dan eksistensi kita dalam jejaring pergaulan dunia maya. Dengan sekali klik hastag atau melalui konsep konten tertentu seseorang dapat seketika hadir, atau merasa menjadi bagian dari komunitas global yang lebih luas.
Namun, fenomena tersebut sesungguhnya juga mencerminkan situasi sosial dan individu yang kian berjarak dengan sekitar serta kenyataan senyatanya yang berada di luar dirinya. Ketika berhadapan dengan media sosial, seseorang cenderung terpusat pada dirinya. Maka, tidak mengherankan bila sebagaimana digambarkan lewat pertunjukan, bagian dari presentasi Jagongan Wagen edisi September 2020, komunikasi antar pribadi seperti terlempar ke ruang kosong; tanpa konteks dan tidak bertaut satu sama lain karena masing-masing terlalu asyik dengan diri dan dunia imajinya sendiri. Tidak ada koneksitas antara percakapan satu dengan lainnya, kecuali relasi yang mencerminkan situasi serta realitas kita hari ini.
Kekuatan dari pertunjukan Di Belantara Tagar, Kau Siapa? tentu saja keberanian Seniman Pascaterampil untuk melakukan eksperimentasi dan pendekatan estetik yang tidak bisa. Mereka melakukan pemertanyaan dan mengkritisi fenomena di ruang maya, kemudian berhasil memvisualisasikannya dengan narasi serta konsep yang apik; membuka ruang tafsir pada aneka kemungkinan sekaligus dialog proses kreatif. Kelima seniman lintas bidang ini menyadari bahwa realitas tidak dapat dilihat dari satu kacamata saja, maka yang mereka hadirkan adalah aneka sekuen atau fragmen-fragmen realitas yang menyatu dalam satu keutuhan pertunjukan.
Apakah peristiwa bunyi yang kemudian dihadirkan di atas panggung pertunjukan harus semata-mata dihadirkan dengan seperangkat instrumen yang dianggap ‘mapan’? Bagaimana bunyi-bunyian yang lahir dari gerak dan perlakuan atas benda sehari-hari menjelma menjadi komposisi musik yang harmonis? Dua pertanyaan itulah yang pertama-tama mengusik saya ketika menyaksikan pentas grup musik STOMP.
Ya, bayangkan saja alat-alat yang lazim kita temui sehari-hari; penyedot WC, alat pel, tongkat, pipa, menghasilkan bebunyian yang entah bagaimana terdengar asyik, sebuah musik komposisi yang berpadu harmonis. Penyedot WC yang berulang ditempelkan ke lantai lalu ditarik dengan ritme tertentu, juga tongkat-tongkat yang dihentakkan serta dipukul dengan laras pendek, menghasilkan perpaduan bunyi yang dinamis dan segar. Bahkan, suara yang ditimbulkan dari gerakan sepasang sepatu yang dilapisi penutup tertentu sedang menggerus genangan air di lantai cukup membuat saya takjub dan berpikir betapa pertunjukan ini mengajak kita kembali menghayati esensi dari bunyi itu sendiri.
Dari tajuk dan tata panggung pertunjukan, mulanya saya berpikir akan menyaksikan penampilan ala streat dance atau adu hip hop jalanan khas kota New York. Kemudian, penampilan para musisi yang satu per satu memenuhi panggung lebih mengesankan saya; mereka mengenakan kaus tanpa lengan dan celana cargo, hingga gaya rambut funk yang seolah mencerminkan sisi bebas dan merdeka mereka sebagaimana komposisi musik perkusi yang ditampilkan di atas panggung.
Grup musik yang menamakan diri mereka STOMP ini didisikan oleh Luke Cresswell dan Steve McNicholas di Brighton, Inggris, pada 1991. Bukan hanya perkusi, kelompok ini juga memadukan pertunjukan mereka dengan visual dan gerak komedi yang menjadikan penampilan mereka semakin menghibur dan menarik untuk ditonton. Proses kreatif dan penampilan mereka di atas panggung telah dipublikasikan dalam film pendek dan dokumenter panjang, meraih sejumlah penghargaan, semisal Palm D’Or dari Cannes Film Festival 1996 dan Emmy Awards tahun 1998.
STOMP menyajikan sebuah pertunjukan perkusi yang bukan saja dinamis dengan gerak-gerak ritmisnya yang menghentak, namun membawa saya pada perenungan untuk menghayati kembali setiap detail gerak, bunyi, atau bebunyian yang ditimbulkan sebagai akibat perlakuan tertentu atas benda sehari-hari yang mungkin seringkali luput oleh pengamatan kita. Siapa sangka, suara atau bebunyian yang muncul ketika kita tengah menyepak genangan air, atau mengepel lantai, bila dihadirkan dalam ritme dan tempo tertentu akan menjadi sebuah komposisi musik yang mengesankan. Demikian pula cara kita memukul sebuah tongkat, atau menghentakkannya berulang, akan menghasilkan peristiwa bunyi yang mengasyikkan; mengingatkan saya pada suasana masyarakat komunal yang guyub, di mana perempuan-perempuan tengah menumbuk padi di lesung dan menghasilkan ritme bunyi secara alami.
Penampilan grup musik STOMP, dengan pilihan estetika dan perangkat ekspresi mereka berupa benda sehari-hari, bahkan peralatan yang dianggap sudah tidak terpakai lagi, merupakan sebuah upaya pencarian serta penggalian kembali pada esensi bunyi itu sendiri. Apakah yang disebut dengan bunyi, bagaimana atau dengan apa bunyi itu diperdengarkan, serta bagaimana bunyi didengarkan oleh penonton, barangkali merupakan hal mendasar yang dapat kita tangkap dari pertunjukan ini. Musik yang indah bukan semata harus lahir dari instrumen musik yang dianggap telah ‘mapan’ atau berkelas, namun juga dari benda sederhana sehari-hari.
Sikut Awak menyoal tentang bagaimana tubuh berinteraksi dengan ruang berdasarkan sikut satak, yakni salah satu sistem arsitektur tradisional Bali. Sikut satak berisi sejumlah pakem dan ukuran yang diterapkan orang Bali ketika hendak membangun rumah. Dalam konteks tersebut, tubuh sang pengukur menjadi “meteran” untuk semua ukuran.
Secara umum, masyarakat modern juga mengenal ukuran sejengkal, sedepa, segenggam, sekiku, dan lain sebagainya. Ukuran-ukuran itu demikian dekat dengan tubuh. Tubuh menjadi poros sekaligus menjadi parameter untuk ruang. Karenanya, ukuran ruang disesuaikan dengan ukuran tubuh. Namun, karena berbasis tubuh, maka ukuran tidak pernah persis sama antara satu orang dan yang lain. Kendati ada konvensi, namun tidak pernah sampai presisi. Segalanya tergantung tubuh sang pengukur.
Hal ini pula yang coba disampaikan Krisna. Film-tari Sikut Awak banyak menampilkan komposisi tiga penari yang bergerak secara berbeda. Kendati masing-masing fokus pada geraknya, namun ketiganya nampak berada dalam posisi dan porsi yang presisi demi terciptanya sebuah ruang bersama. Ada beberapa scene mereka saling berinteraksi dengan gerak yang sama, patah, teratur, dan terukur. Bagian ini lebih seperti simbol ruang geometris. Ada juga bagian yang menunjukan mereka saling bertumpu, saling mendorong dan menahan demi satu keseimbangan bersama. Komposisi yang sering digunakan untuk latihan olah tubuh dalam tari dan teater ini, dalam konteks Sikut Awak, bisa dibaca sebagai saling topang antar tiang atau rusuk dalam bangunan tradisional. Tubuh-tubuh itu menjadi simbol dinding, sekat, atau batang-batang kayu yang biasa terdapat dalam arsitektur tradisional Bali.
Idiom Bali tradisional tidak hanya diwujudkan secara simbolik melalui gerak belaka. Busana penari perempuan tentu sangat mewakili Bali: kebaya, selendang di pinggang, dan kain jarik. Kecuali itu, pilihan lokasi juga sarat aroma Pulau Dewata.
Kendati Bali, kosagerak dalam Sikut Awak berupaya bebas dari idiom gerak tari tradisional Bali meski jejaknya masih dapat dilacak dalam beberapa scene (adegan). Misalnya, dalam salah satu adegan, dua penari perempuan mengambil sikap tangan yang khas tari tradisional Bali. Tapi, hal demikian tidak banyak, tipis-tipis saja. Yang terasa tebal justru eksplorasi Krisna pada lengan dan jari. Sekilas, banyak gerakan yang mirip bahasa isyarat saking dominannya permainan jari dan lengan. Dengan keduanya pula, Sikut Awak banyak menampilkan “gerak mengukur”. Musik pengiringnya juga sama sekali tidak Bali. Krisna lebih memilih menggunakan latar suara angin, tonggeret (gerangpung, keriang), suara-suara pengerjaan bangunan, dan latar suara lainnya.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, yang cukup kuat ditonjolkan dalam karya ini adalah komposisi gambar. Banyak gambar menunjukan posisi tubuh dalam ruang atau sekat di sekelilingnya. Misalnya, tiga penari penari perempuan mematung di antara sekat dinding. Ketiganya terlihat pas dan presisi berada di ruang itu. Pada adegan lain, tiga penari berada di tempat semacam gazebo. Mereka mengubah posisinya dari duduk dengan kaki menjuntai ke “mengisi ruang” dengan menempatkan diri pada titik sehingga membentuk segitiga imajiner. Gambar lain, seorang penari laki-laki berdiri di antara dua pohon di alam terbuka. Gambar-gambar ini jelas dibuat dengan perhitungan komposisi yang apik terencana.
Sikut Awak menyadari betul potensi kamera dan penyuntingan dalam film. Hal ini kuat tertangkap dalam pilihan sudut pengambilan gambar dan pewarnaan. Ada adegan-adegan yang dibuat monokrom. Dalam diskusi Artist Talk yang dipandu Helly Minarti setelah tayangan Sikut Awak di kanal YouTube Komunitas Salihara, Krisna menjelaskan bahwa bagian monokrom tersebut merupakan simbol dari masa lalu, yakni masa sikut satak lahir dan melekat di masyarakat Bali. Sebagai perbandingan dengan masa kini di mana sikut satak tidak lagi jadi pakem membuat rumah, ia menghadirkan kontainer sebagai simbol ruang kekinian. Ruang modern yang dingin, kaku, dan hanya mempertimbangan fungsi praktis kontradiktif dengan ruang tradisional yang hangat, luwes dan mempertimbangkan banyak hal selain kepraktisan belaka.
Dalam paradigma Bali tradisional, kontradiksi adalah hukum alam. Menurut Putu Wijaya, Bali sebenarnya tidak memandang kontradiksi sebagai sesuatu yang buruk. Bali selalu menempatkan segala sesuatunya dalam konteks desa–kala–patra ‘ruang-waktu-situasi’. Krisna agaknya berupaya menunjukan hal ini melalui simbol lingga-yoni yang dimainkan seorang penari laki-laki dan seorang penari perempuan. Sebagaimana diketahui, lingga-yoni adalah simbol umum untuk harmonitas selain, tentu saja, kesuburan. Tradisi dan modern tidak harus dipertentangkan, melainkan saling sulam dalam anyaman harmoni.
Otonomi Karya Seni
Secara umum, Sikut Awak berbicara cukup jelas tentang interaksi tubuh dan ruang dalam konteks arsitektur tradisional Bali. Menilik judulnya yang berbahasa Bali saja sudah cukup terang. Sikut dapat dimaknai ukuran panjang dan jarak. Sementara awak berarti badan atau tubuh. Sikut Awak dapat dimaknai ukuran (menurut) tubuh.
Bila gerak dalam film-tari ini diposisikan sebagai teks, maka latar dan busana yang ditampilkan dapat pula dibaca sebagai konteks. Sebagaimana yang nampak, latar dan busana bicara cukup jelas sebagaimana juga komposisi gambar gamblang bicara mengenai ruang, jarak, dan ukuran. Kalau masih bingung mencerna, penonton masih dimanjakan dengan gambar dan gerak yang estetis. Kendati seni bukan melulu soal estetika, namun estetika adalah bagian dari kesenian juga. Tidak masalah ketika penonton “hanya” menangkap keindahannya saja, kan tidak haram. Apalagi salah. Sejak kapan seni bicara salah dan benar?
Karya seni demikian berlapis-lapis dan multitafsir. Ia bukan jurnal ilmiah dengan mono interpretasi. Meski karya seni adalah juru bicara kreator, namun karya seni punya otonomi sendiri untuk menentukan nasibnya di benak para apresiator, lepas dari kuasa sang kreator. Dalam sastra, ungkapan “pengarang telah mati” dari Roland Barthes umum dikutip sebagai legitimasi otonomi karya. Bagaimana dalam seni pertunjukan? Apakah kreator (sutradara, koreografer, komposer) musti “menghilang” usai tepuk tangan bergemuruh?
Krisna Satya memilih untuk tidak “menghilang”. Ia hadir dalam sesi Artist Talk yang memang rangkaian Helatari Salihara 2021. Dipandu Helly Minarti, Krisna menjabarkan proses kreatif Sikut Awak. Lebih jauh, ia tidak hanya bicara proses kreatif, melainkan gagasan dibalik karyanya.
Fenomena seniman menerangjelaskan karyanya sendiri setidaknya bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, hal demikian baik sebagai ruang dialektika wacana sekaligus “ruang belajar” bagi apresiator bagaimana meracik bentuk agar isi bisa “selamat sampai tujuan”. Diskusi pasca pertunjukan sering kali menghasilkan dialektika yang asik dan kadang mengejutkan. Ada transfer wawasan dan ilmu di sana selain seringkali juga diwarnai kelahiran ide-ide segar. Apalagi bila penonton punya pembacaan yang berbeda dengan yang maksud sang kreator.
Di sisi lain, seniman seperti kurang percaya diri dengan karyanya. Maksud yang telah ia “bungkus” sedemikian rupa dalam karya seninya lantas ia uraikan sendiri dalam diskusi atau tulisan sinopsis. Buat apa dibungkus dengan sekian stilisasi, metafora, dan simbol-simbol kalau pada akhirnya toh dibongkar sendiri juga? Tidakkah karya seni cukup sebagai juru bicara? Tidakkah sebuah karya bisa menjelaskan dirinya sendiri? Mengapa harus melakukan komunikasi ganda, dengan pertunjukan dan penerangjelasan secara lisan/tulisan? Bukankah asiknya mengapresiasi karya seni adalah petualangan memecahkan simbol demi merengkuh makna? Seniman cukuplah selesai dengan karyanya. Urusan percerapan, biarlah itu urusan apresiator.
Saya cenderung mengusulkan sisi yang kedua sebagai sikap seniman terhadap karyanya sendiri. Dalam konteks Sikut Awak, Krisna idealnya selesai ketika ia tuntas menggarap karyanya. Selebihnya, biarkan film-tari itu yang bicara. Ia tidak perlu lagi menerangjelaskan secara terperinci maksud dari karyanya. Dengan menjelaskannya secara verbal, karya seni tak ubahnya seperti jurnal atau makalah hasil riset ilmiah.
Banyak karya seni memang hasil riset, termasuk juga Sikut Awak. Yang membuatnya beda dengan karya ilmiah adalah wujud “laporannya” atau presentasinya. Bila ilmuwan melaporkan melalui jurnal dan seminar-seminar, kanal seniman adalah karya seni. Biarkan karya itu otonom untuk menentukan nasibnya sendiri di tengah para apresiator. Biarkan ia bebas bertualang di belantara imajinasi dan jejaring makna. Karya akan menemukan takdirnya sendiri: berjejak atau menguap.
Bila karya terlalu gelap, terlalu personal sehingga sukar dipahami, atau memang bermaksud dibedah mendalam, tugas kritikus untuk membantu apresiator mengunyah karya seni tersebut. Dengan mengulas dan memberi pertimbangan atas karya, kritikus juga telah menjadi juru bicara karya tersebut (tentu dari sudut pandangnya). Dengan “pembagian tugas” demikian, ekosistem dunia seni akan lahir, tumbuh, dan berkembang secara sehat.
Namun, saya tetap menghargai seniman yang memillih menerangjelaskan maksud dan detail karyanya. Itu kan hak dan pilihan. Lagi pula, bila karya adalah anak batin seniman, wajar jika ia ingin memastikan anak batinnya “selamat sampai tujuan”.
Yang membuat karya seni asik dibincangkan adalah lapisan makna yang dikandungnya. Ia bisa berlapis-lapis sebab sangat terbuka untuk didekati dari berbagai sisi. Berpaling Pulang produksi Kalanari Theater Movement yang ditayangkan pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2021, sebagaimana sandi (tersembunyi) wara (informasi), punya banyak kode dramatik yang asik diperbincangkan.
Sebelum lebih jauh, untuk menyebut karya ini sebagai teater tapi kok sangat filmis. Sebagai film, ke-teater-annya masih sangat kental. Tapi, karena diapresiasi dan dikreasii untuk tayangan via layar monitor, mari sebut Berpaling Pulang sebagai film alih-alih teater virtual. Istilah yang terakhir disebut terkesan sebagai penyelamatan. Enggan disebut mati suri karena pandemi, teater migrasi dari panggung ke ruang maya lalu menyebut diri teater virtual. Padahal, sejumlah karya sangat filmis. Ya, sudah, film saja sekalian. Tidak usah memaksakan diri. Bahwa (panggung) teater ditinggalkan sementara waktu akibat pandemi, toh tidak akan membuat teater mati betulan. Sebagai upacara, ia akan tetap ada sepanjang manusia hidup di muka bumi.
Rindu yang Puitik
Film ini menceritakan sebuah keluarga di sebuah kampung di Jawa yang terpisah karena dua di antaranya pergi merantau. Bapak (Mathori Brilyan) adalah seorang petani. Namun, ketiga anaknya punya jalan yang berbeda. Ocha (Rosalia Novia Ariswari) mengejar mimpi menjadi seorang koki di luar Jawa. Sementara Melani (Mailani Sumelang) melanjutkan studi, juga di luar Jawa. Di rumah tinggal Bapak dan adik (Sarinah) yang merupakan seorang sarjana seni tari yang punya mimpi jadi penari kondang tapi disuruh Bapak bertani di kampung.
Di tanah rantau, mereka yang pergi dirundung rindu. Ingatan tentang asiknya bermain-main di kampung asal berkelebat di tengah kesibukan dan keterasingan. Bapak juga rindu berat. Dipaksa anak-anaknya pulang. “Ayo kita pulang. Masih ingatkah jalan untuk pulang?” kata Bapak. Tapi, makin kuat Bapak memaksa, anak-anak justru makin kuat berpaling. Di puncak kelelahan Bapak, anak-anak berbalik. Bukan dengan senyum dan sapa, melainkan dengan agresif dan seolah menuding. Entah apa yang ditudingkan sebab mereka semua bicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Tidak saling mengerti. Ayah terpojok. Usai sekian waktu dalam ketaksalingpahaman dan kesalingikatan, akhirnya mereka dapat berkumpul justru ketika semua ikatan dilucuti.
Melihat pertama kali, film ini cukup menyentuh. Ingatan, rindu, dan pulang dibicarakan dengan puitik lewat laku, bunyi, dan peristiwa. Mereka bicara bahkan dengan ”bahasa baru” yang sama sekali tidak dimengerti. Kendati begitu, makna peristiwa terang terbaca karena penanda yang lain masih “bicara dengan normal”. Penonton paham bahwa Ocha sedang menjelaskan bahan dan cara membuat makanan di depan kamera sebagaimana penonton juga paham bahwa lagu yang dinyanyikan Melani adalah Seperti Mati Lampu-nya Nazar. Yang membingungkan akibat kendala “bahasa baru” adalah ketika tiga orang anak “menyerang” Bapak sambil berputar mengelilinginya. Mereka seperti menuding Bapak, tapi apa? Entahlah.
Entah itu segera dihantam lagi. Dalam diam usai riuh dengan “bahasa baru”, muncul perempuan (Siska Aprisia) menghampiri mereka yang mematung dan terlilit tali. Susunan tangga dramatik Arostotelian yang apik dibangun sejak awal membuat resolusi ini terasa begitu putik. Ia mendendangkan penggalan lagu berbahasa Minangkabau, Buai Anak, karya musisi Sumatra Barat, Alkawi. Lagu ini berisi harapan orang tua kepada anaknya agar ketika anaknya kelak dewasa, ia sukses dan mampu mengangkat harkat dan derajat orang tua.
“Oi, Nak, kanduang lakeh lah, Nak/lah Nak gadang//Kapambangkik, Nak/kapambaki, oi batang tarandam//”
Kemunculan idiom Minang menajamkan fokus film ini soal rantau. Sebagaimana banyak diketahui, Minangkabau masyhur sebagai bangsa yang memiliki tradisi merantau. Konon, mereka bahkan pantang pulang dari tanah rantau sebelum sukses. Namun, kemunculannya terkesan ujug-ujug sebab tidak ada rambu apa pun sebelumnya. Idiom ini kesepian. Ia berdiri sediri tanpa tertaut dengan penanda lain. Karena sendiri, ia terasa tempelan meski alunan seruling dan vokal Siska begitu memanjakan telinga.
Bahasa dan Kompleksitas Identitas
Dalam situs resmi kelompok yang berdiri pada 2012 ini, www.kalanari.org, mereka menyebut bahwa Berpaling Pulang bicara tentang makna pulang sebagai “pengalaman yang mengikat seseorang pada lokasi”. Lokasi bisa berarti tempat, bisa juga sesuatu yang lebih imateriil, seperti tujuan atau cita-cita. Gagasan “mengikat” disimbolkan dengan tali yang melilit semua pemain. Bapak menarik tali yang mengikat anak-anaknya untuk mengajaknya pulang tapi gagal. Justru ketika tali itu dilepas, mereka berkumpul meski dalam suasana yang berbeda. Dalam konteks ini, Bapak dapat dibaca dalam arti denotatifnya sebagai orang tua dan bisa juga dibaca sebagai simbol asal muasal dalam arti seluas-luasnya.
Yogyakarta yang merupakan basis Kalanari Theater Movement representatif sebagai ruang observasi untuk gagasan ini. Ia termasuk tanah rantau bagi banyak orang. Atmosfer ini tentu jadi laboratorium yang memadai buat mereka meriset atau menelusuri makna rindu rumah, ingatan kampung halaman, keterkejutan budaya (shocking culture), keterasingan, dan tentu saja pulang dan asal muasal.
Kota Gudeg ini juga tenar sebagai ruang irisan berbagai himpunan. Ada himpunan tradisi Jawa, himpunan kota pelajar, himpunan episentrum seni, himpunan kota wisata, himpunan kota sejarah, himpunan ruang perjumpaan lintas budaya, dan lain sebagainya. Mereka yang tinggal di sana terbiasa dengan suasana serbaragam dan mendudukan identitas sebagai sesuatu yang kompleks dan dinamis.
Hal ini coba dimunculkan Kalanari melalui penggunaan banyak bahasa dalam karya mereka. Bahasa Jawa digunakan dominan sebagai lingua franca tiga saudari itu. Bapak bicara bahasa Indonesia, utamanya ketika “berbicara kepada penonton”. Pemusik mendendangkan lagu Minang, sementara keempat tokoh juga bicara dalam bahasa mereka masing-masing.
Melani menyusun bahasanya dari bunyi “ro”, “ku”, dan “ya”. Sedangkan Ocha mengolah variasi komposisi bunyi “su”, “sa”, “sal”, “la”, “lu”, “lah”, “pa”, “pu”, “a”, dan “u” sebagai bahasa. Adik bilang “kakase kale akace ureka” kepada Bapak dan Bapak membalas dengan komposisi “se”, “ka” dan “po”. Secara berulang-ulang pemusik merapal “lapusa”, “rokuya”, dan sejumlah bunyi lain yang maknanya sulit dimengerti.
Di level teknis, tiap bahasa menandakan ruang dan suasana tertentu. Lebih jauh, “bahasa baru” itu bisa dibaca sebagai himpunan baru yang turut membentuk identitas. Migrasi fisik juga berarti migrasi budaya, bahasa salah satunya. Di lain sisi, berubahnya cara bertutur mereka mengisyaratkan terasingnya mereka dari tanah muasal, dari “aku yang dulu”. Kota adalah rumah setiap orang sekaligus bukan rumah siapa pun.
Sikap kepada Masa Lalu
Membaca film ini dalam situasi pandemi, pulang tidak hanya berarti kembali ke tanah muasal, melainkan juga pulang ke normal tanpa baru. Siapa tak rindu bergandengan tangan, bercanda tawa tanpa jaga jarak, berkerumun? Siapa tak rindu nonton dan main teater secara langsung?
Pandemi memenjarakan kita dalam layar. Dunia virtual jadi serupa bahasa asing yang mau tak mau musti dipahami demi kelangsungan denyut nadi. Hal yang membuat tersiksa justru ikatan yang tertambat pada masa lalu padahal hari ini zaman telah demikian tak menentu. Batas menjadi bias. Mana teater mana film menjadi tidak penting diperbincangkan.
Akan tetapi, dalam kondisi serba post ini yang berharga justru mereka yang masih tertambat pada muasal. Gara-gara pandemi, pengobatan lokal kembali dikaji sebab baru ngeh, misalnya, ternyata ada baiknya juga. Demikian pula kearifan lokal lainnya, diburu untuk direguk saripatinya dan diartikulasikan dalam bentuk kekinian.
Masa lalu memang telah usai, namun kita berdiri tepat di atas reruntuhannya.
Sebagaimana wabah Maut Hitam mengubah wajah dunia pada Abad Pertengahan, demikian pula Pandemi Covid-19 mengubah tatanan abad ke-21. Dan sebagaimana wabah lain yang pernah ada, bencana Covid-19 bukan sekedar membunuh tubuh, melainkan mental, ekonomi, kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Melalui karya audio visual bertajuk Bane, Laring menyoroti betapa bencana ini menggoncang banyak hal dalam hidup manusia.
Disutradarai Gema Swaratyagita dan Fiametta Gabriela, karya yang ditampilkan dalam program Jagongan Wagen edisi 24 September 2021 yang digagas oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja ini, terdiri dari tujuh komposisi bunyi dan suara: “Overture Bane”, “Tinolak”, “Nesu”, “Nyang-Nyang”, “Depresi”, “Ditampa Basa”, dan “Epilog”.
“Overture Bane” menyuguhkan angka-angka. Beberapa suara mendawamkan angka mulai satu yang terdengar jelas sampai jutaan yang tumpang tindih dengan bunyi-bunyi lainnya. “Tinolak” didominasi seorang perempuan yang menyampaikan semacam berita dengan bahasa aneh yang hanya ia sendiri yang tahu maksudnya. Sementara seorang perempuan sibuk terisak-isak dan satunya lagi bersenandung. “Nesu” menggambarkan dua orang yang sedang marah dan bertengkar dengan bahasa yang tak dimengerti kecuali beberapa kata saja. “Nyang-Nyang” adalah bagian yang paling mudah dipahami sebab berisi lagu dan dialog berbahasa Indonesia. Isinya berupa refleksi atas wabah Covid-19. “Depresi”, sebagaimana makna istilah itu, menggambarkan seseorang yang depresi. Sementara “Ditempa Basa” berisi suara-suara orang seperti merapal mantra, bersenandung kidung, atau semacam nyanyian etnik dilatari macam-macam bunyi yang tumpang tindih. Di ujung, sambil di layar muncul credit title, seseorang menyanyikan lagu “Tanda Semesta” yang liriknya dikerjakan Tessa Prianka. Demikianlah bagian “Epilog”.
Secara keseluruhan, apa yang disajikan Laring tidak terlalu gelap kendati terdiri dari bunyi dan suara serupa bahasa yang asing sama sekali. Pada “Overture Bane”, suara orang menghitung yang lantas beriringan dengan suara “innalillahi wa inna ilaihi rooji’un” langsung membawa ingatan saya pada masa beberapa waktu lalu ketika Indonesia berada di ururutan kedua negara dengan kasus kematian harian akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Media sosial kita seperti tak pernah sepi dari kabar duka dan ungkapan belasungkawa. Pada titik itu, pada titik kematian menjadi statistik belaka, nyawa seolah tak ada artinya.
“Tinolak” menyuguhkan sesuatu yang dekat dengan kita, yakni bagaimana berita corona datang silih berganti, menekan mental dan mudah terpental: hampir tiap saat para pembaca berita membawa kabar buruk tentang naiknya angka kasus, keganasan virus baru, kelangkaan obat, dan lain sebagainya. Hal demikian disampaikan dalam bahasa yang sungguh asing. Hanya sesekali pembaca berita bilang “corona”. Selebihnya, hanya ia yang tahu apa maksud komposisi suara itu. Meski bahasa itu tak bisa dimengerti, namun, makna adegan tersebut dengan mudah disampaikan dan dipahami. Komunikasinya klik sebab kedua komunikator punya kamus yang sama.
Dalam karya ini, Laring nampak penasaran dengan bahasa lisan sebagai bunyi dan penyampai informasi. Kecuali pada “Nyang-Nyang”, bahasa yang mereka gunakan sukar dimengerti sekilas. Namun, orang toh mengerti apa yang dimaksudnya. Pasalnya, gambar dan bunyi serta suara lain bicara dengan jelas, apa yang hendak mereka utarakan.
Secara garis besar, Bane menggambarkan sisi lain Covid-19 dengan bahasa ungkap yang cukup segar. Belakangan, bahasa mendapat perhatian lebih dalam filsafat sebab ia adalah cara manusia memaknai sekaligu memahami realitas. Dalam kondisi serba kacau sedemikian rupa, bahasa lisan kadang dipahami secara berbeda. Realitas dipahami secara berbeda pula.
Sulit untuk tidak menautkan Amir Hamzah dengan puisi. Namanya harum tercatat sejarah sebagai pelopor sastra Indonesia. Oleh H.B. Jassin, ia bersama Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan sejumlah kawan seangkatannya digolongkan ke dalam angkatan Pujangga Baru dalam periodisasi sastra Indonesia moderen. Namun, tidak banyak yang tahu jika Amir Hamzah ternyata pernah menjadi bupati di Sumatera Timur (kini Sumatera Utara). Tak juga banyak yang tahu bila penyair ini seorang pahlawan nasional yang mati dibunuh oleh guru silatnya sendiri.
Sejarah resmi umumnya hanya bicara hal-hal besar, cerita-cerita besar. Di zaman Orde Baru, ada kecenderungan membuat sejarah menjadi hitam putih sehingga masa lalu hanya berisi salah dan benar. Padahal, hidup tidak mungkin hanya hitam dan hanya putih. Ada banyak warna yang tak jarang saling berkelindan dan tumpang tindih. Sejarah yang dipaksa hitam putih akan melahirkan sikap picik memandang masa lalu dan selalu mencari kambing hitam. Amir, Akhir Sebuah Syair menunjukan bagaimana sejarah hadir penuh warna, tidak bicara tentang salah dan benar, kalah dan menang.
Pertunjukan produksi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerjasama dengan Titimangsa Foundation dan Kawan-Kawan Media ini merupakan salah satu dari empat monolog dalam seri monolog Di Tepi Sejarah. Aktor Chicco Jerikho didapuk sebagai pemain. Tak tanggung-tanggung, aktor berdarah Batak-Thailand ini memainkan empat tokoh secara bergantian.
Kekuatan Imajinasi
Menonton teater, seperti juga mengapresiasi karya seni lainnya, tidak mungkin tanpa mengembangkan imajinasi. Terutama bentuk teater seperti Amir, Akhir Sebuah Syair yang skenerinya nonrealis, mengajak penonton bertualang di samudra luas imajinasi. Dalam pertunjukan wayang baik golek maupun kulit, panggung bersih sama sekali dari set. Latar tempat dan waktu sepenuhnya dituturkan dalang, menancap di fakultas imajinasi penonton. Tanpa ada benda apa pun kecuali wayang itu sendiri, penonton paham bahwa adegan Batara Kresna memberi wejangan kepada para dewa terjadi di Kahyangan. Demikian pula jika para satria pandawa melakukan perjalanan bersama punakawan, penonton tahu itu di hutan belantara meski tak ada satu pun pohon atau penanda hutan lainnya di panggung.
Formula serupa digunakan sutradara Iswadi Pratama dalam menggarap panggung pertunjukan Amir, Akhir Sebuah Syair. Sejak awal, Iswadi enggan terang-terangan. Amir yang duduk di kursi pada adegan pertama tidak memberi kejelasan ruang apa pun. Ketika ia berjalan lalu mengambil segenggam tanah dari gundukan, latar tempat masih samar, masih cenderung sukar diidentifikasi sebab panggung minim petanda ruang.
Pada adegan kelima barulah teka-teki gundukan terkuak. Seorang lelaki menabur bunga di atas gundukan itu. Ternyata gundukan tanah itu kuburan dan yang berbicara di awal adalah arwah Amir Hamzah di ruang antah berantah.
Tokoh-tokoh sebetulnya sudah memberi informasi yang lengkap tentang situasi, tempat, dan waktu peristiwa terjadi. Bila penonton cukup jeli menangkap, informasi itu bisa jadi pemantik untuk mengembangkan imajinasi. Misalnya, ketika Amir menyuruh Kamaliah dan Tahura pergi dengan latar suara orang-orang marah. Imajinasi penonton bisa menjadi liar membayangkan bagaimana kacau, brutal, dan gawatnya Revolusi Sosial Sumatera Timur pada Maret 1946 itu. Apalagi bila penonton mau melengkapi informasi dengan mencari data lain. Umpamanya, tentang kisah pemerkosaan dua putri Sultan Langkat oleh oknum revolusioner.
Properti juga jadi kunci. Mainan burung yang muncul pada adegan Ijang dan muncul kembali ketika Amir hendak dieksekusi, membuat alur menjadi jelas. Celakanya, bila penonton kurang jeli memperhatikan hal-hal demikian, ruang, waktu, situasi, dan alur peristiwa akan menjadi kabur. Terlebih, beberapa teknik pergantian tokoh yang dibawakan Chicco sengaja dibuat cepat dan terlihat jelas membuat penonton awam makin bingung. Misalnya, ketika lelaki misterius berubah menjadi Amir Hamzah. Perubahannya hanya sehela nafas, yakni ketika Chicco mengenakan kopiah. Kopiah selesai dipasang, lelaki misterius berubah menjadi Amir Hamzah.
Untungnya, dokumentasi Amir, Akhir Sebuah Syair dapat terus ditonton di kanal Indonesiana.tv. Sehingga, apa yang luput ketika kali pertama menonton dapat dicari pada kesempatan kedua. Jika menonton langsung sebagaimana teater umumnya diapresiasi, kesempatan kedua itu berarti dua kali pergi ke gedung pertunjukan, dua kali membeli tiket, dan dua kali menonton dari awal sampai akhir.
Inilah salah satu perbedaan mendasar menonton karya budaya yang kini lazim disebu teater virtual dengan teater yang langsung diapresiasi di gedung pertunjukan. Teater langsung bersifat temporal. Tidak pernah ada pertunjukan yang sama. Kendati sebuah lakon dipentaskan berulang-ulang dengan format, pemain, dan panggung yang sama, kemewaktuan teater menjadikannya selalu baru. Teater tidak membekukan peristiwa sebagaimana film dan fotografi. Bentuk karya yang belakangan disebut teater virtual menghilangkan temporalitas teater. Ia dinikmati tak ubahnya film: gambar bergerak dalam bingkai layar. Ia bisa ditonton kapan saja dan di mana saja sejauh memiliki perangkat yang memadai.
“Salin Rupa” dalam Sehela Nafas
Dari segi akting, memerankan empat tokoh dengan enam karakter berbeda adalah tantangan tersendiri. Chicco lulus untuk itu. Bila musti diberi ranking, yang paling mengesankan adalah perannya sebagai Ijang. Dari segi psikis, guru silat Amir ketika kecil ini memiliki dunia batin yang kompleks. Bisa dibilang paling kompleks di antara yang lain. Ada pergolakan batin yang amat sangat pada dirinya. Di satu sisi ia terlibat revolusi sebagai bagian dari kaum non-bangsawan yang menuntut perubahan dan keadilan. Di sisi lain, mereka yang ia lawan adalah bekas tuannya sendiri. Terlebih Amir yang sedari kecil ia asuh bak anak sendiri. Ada penyesalan yang bahkan sampai mengantarkannya ke gerbang kegilaan.
Khusus Ijang, Chicco tidak hanya memainkan satu karakter Ijang, melainkan dua: Ijang muda dan Ijang pasca kematian Amir. Dua karakter ini sangat jauh berbeda. Ijang muda nampak berwibawa dan tegas sebagaimana guru silat pada umumnya. Sementara Ijang pasca kematian Amir adalah manusia penuh penyesalan yang tak hentinya dihantui ingatan masa lalu, terutama ketika Amir kecil. Hal ini dihadirkan Iswadi secara samar melalui suara latar (voice over) Amir dan Ijang masa silam.
Hal yang membuat pertunjukan ini terasa kurang adalah minimnya aksen Melayu dalam semua ucapan yang dituturkan Chicco. Padahal semua tokoh yang diperankannya jelas orang Melayu. Dalam beberapa bagian, suara latar justru terdengar lebih Melayu ketimbang aktornya sendiri.
Sejarah yang Aneka Warna
Sebagai sutradara dan penulis naskah, Iswadi Pratama tampak menguasai betul biografi Amir Hamzah. Sebelumnya, ia pernah menyutradarai Nyanyi Sunyi Revolusi (Gedung Teater Jakarta, 2-3 Februari 2019), pertunjukan teater yang mengisahkan sepenggal perjalanan hidup Amir Hamzah yang naskahnya ditulis sastrawan asal Jawa Barat, Ahda Imran. Amir, Akhir Sebuah Syair bukan lanjutan Nyanyi Sunyi Revolusi, melainkan bagian lain kisah Amir Hamzah dalam bentuk karya yang berbeda.
Pengalaman ini memperkaya sutradara Teater Satu Lampung itu ketika menggarap dan menulis sendiri naskah monolognya. Pertunjukan ini bukan hanya biografi Tengkoe Amir Hamzah, melainkan ungkapan sikap bijaknya dalam kemelut revolusi.
Sejak awal, Amir sudah bercerita mengenai latar peristiwa. Dunia sedang berubah. Indonesia berada dalam situasi ketika “sistem feodal yang berabad-abad tumbuh di negara ini satu per satu hancur”. Amir menuturkannya secara netral. Ia lebih seperti narator tanpa keberpihakan. Lelaki misterius kemudian memberi penoton sudut pandang lain. Ia jelas ada di pihak mana.
Maret 1946 Sumatera bagian Timur bergolak. Terjadi tragedi berdarah yang kemudian disebut Revolusi Sosial Sumatera Timur. Meski para sultan di Sumatera Timur secara resmi telah sepakat mendukung republik dan akan memutuskan hubungan dengan pemerintah Belanda, namun, rakyat sudah kepalang marah.
Jurang antara bangsawan si kaya dan rakyat jelata si miskin makin menganga. Para bangsawan dan “Tuan Kulit Putih” mereka memeras keringat rakyat demi gelimang harta. Sultan Langkat beroleh banyak harta dari minyak dan sewa tanah perkebunan, sementara rakyatnya sengsara. Sumatera kala itu adalah perkebunan raya. Sebagian besar penduduknya bahkan buruh asal Jawa yang sengaja dikirim pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan.
Melihat para teuku bermewah-mewah di atas derita kaum papa, rakyat muak dan marah. Kondisi ini dimanfaatkan kaum komunis untuk menggalang kekuatan dan menumbangkan feodalisme di timur Sumatera. Para bangsawan itu dicap anti republik dan pro-Belanda. Orang-orang yang mendaku republiken menyerbu istana-istana sultan di Asahan, Simalungun, Karo, Langkat, dan Deli. Para sultan ditangkap dan “diadili” tanpa peradilan. Keluarganya ditahan dan dijadikan pekerja.
Dalam situasi demikian Amir Hamzah hidup. Setelah pulang ke Langkat dan dipaksa menikahi Kamaliah, ia menjadi perwakilan pemerintah Republik Indonesia. Jabatannya Bupati Langkat. Meski jelas ia perwakilan pemerintah dan pro republik, namun labelnya sebagai bangsawan membuat rakyat gelap mata. Ia habisi bahkan oleh guru silatnya sendiri.
Mengutip Jacques Mallet du Pan, seorang jurnalis di masa Revolusi Prancis, la révolution dévore ses enfants ‘revolusi memakan anak kandungnya sendiri’. Amir Hamzah adalah seorang pejuang bersenjatakan puisi dan pikiran. Republik Indonesia adalah mimpi dan cita-citanya. Diterbitkannya majalah Poedjangga Baroe karena Balai Pustaka beraroma Hindia Belanda. Tapi, nyawanya ditumpas oleh sesama republiken, saudara sebangsa, setanah air, setumpah darah sendiri.
Revolusi Sosial Sumatera Timur sebagai latar peristiwa tidak begitu menonjol dalam monolog yang diproduseri Happy Salma itu. Iswadi sepertinya khawatir, bila suasana revolusi terlalu kentara, sosok Amir Hamzah dengan segala kompleksitas kisah hidupnya akan tenggelam oleh gegap gempita revolusi. Secara keseluruhan, pertunjukan justru lirih, pedih, dan sepi alih-alih penuh gemuruh khas revolusi. Lampu panggung tidak pernah terang penuh. Hanya bagian-bagian tertentu, atau temaram saja.
Amir, Akhir Sebuah Syair begitu menguras emosi, terutama ketika adegan penyesalan Ijang Widjaja. Musik hadir dengan pas. Nada-nada etnik Melayu mengalun mengantar penonton membangun imajinasi sekaligus menyayat dan menyambar emosi. Surat Al-Mu’minun ayat 115-118 yang menghantar adegan Ijang mengingat masa lalunya mengajar Amir kecil punya makna berlapis-lapis.
Pesan pertunjukan demikian jelas. Sikap Amir Hamzah menghadapi maut perlu ditauladani. Betapa maut bisa dihadapi dengan senyum. Ia lapang hati berpesan kepada isteri dan anaknya, jangan menaruh dendam kepada siapa pun yang membawa petaka kepada mereka.
Amir, Akhir Sebuah Syair tidak menghakimi. Tidak bicara salah benar. Ia memperlihatkan warna-warna dalam sejarah sebab sejarah tidak hanya hitam dan tidak hanya putih.
“For me the dance is not only the art that gives espression to the human soul through movement, but also the foundation of a complete conception of life, more free, more harmonious, more natural (Duncan, 1903)”.
Kutipan tersebut seketika terlintas di pikiranku ketika melihat karya Sikut Awak yang ditampilkan pada acara Helatari oleh koreografer Krisna Satya. Terlihat bentang alam yang asri dengan nuansa bangunan Bali yang khas menjadi background bahkan bagian dari tubuh yang direfleksikan oleh Krisna Satya. Dalam karyanya, seniman muda yang lahir dan besar dalam tradisi Bali ini membicarakan konsep arsitektur tradisional Bali sikut satak / sikut gegulak yang dielaborasikan dengan anatomi tubuh. Dalam hal ini Krisna Satya ingin menunjukan peran tubuh yang turut menentukan dimensi luas, jarak dan bentuk bangunan pada tradisi masyarakat Bali, sehingga sebuah bangunan tersebut punya keunikan masing-masing, sesuai anatomi tubuh pengukurnya. Soundscape alam dan sinematografi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari spektakel bertajuk site specific ini.
Dimensial Keruangan
Karya yang berdurasi sekitar 20 menit ini diawali dengan koreografi solo sang koreografer di tengah lapang rumput kemudian dilanjutkan dengan tulisan intro “the space between Ether and Earth”. Berguming suara serangga tonggeret menjadi soundscape pembuka karya, dua orang penari nampak memejam mata dengan saling menindih kepala satu sama lain. Dari adegan ini nampak emosi yang saya dapatkan adalah sebuah kedamaian.
Satu demi satu potret pose penari bergantian di antara ruang terbentuk yang dibatasi dua garis tegas antara kanan dan kiri. Kaki-kaki yang berjalan secara seksama serta gerak jari jemari tangan di atas lantai, hingga berpindah ke lantai berundak dan kembali menunjukan potongan-potongan view di beberapa tempat berbeda masih membawaku pada imaji sebuah kehidupan yang dirasa membosankan. Beberapa frame sinematografis memang menunjukan potongan pose penari di sela-sela gerak koreografi yang ada. Terdapat dua penari yang sedang melakukan gerakan fokus pada jari dan lengan dengan teknik respon, terlihat salah satu penari yang aktif menggerakan jari-jemarinya nampak sangat fokus dan sangat hati-hati. Tiga penari berdiri pada bangunan yang memiliki pilar-pilar kokoh, tiga penari lainnya berada di dalam sebuah gubuk kecil, dan terdapat tiga penari juga di padang rumput berlatar siluet, dilanjutkan dua penari yang berdiri di tengah latar bangunan dan satu penari menjadi tumpuan sedang perlahan membawa tubuh penari berbaring di atas punggungnya layaknya sebuah bangunan yang bertumpu pada pasak yang kuat. Mulai dari sini saya menangkap bahwa adanya hubungan ruang tubuh dengan ruang bangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Soundscape sudah berganti dengan suara-suara peralatan logam yang digesekan layaknya seorang tukang bangunan yang meracik bahan bangunan, melatari tiga penari yang fokus pada gerak jari dan tangan berada di dalam gubuk kecil. Eye contact sepertinya menjadi bertanda untuk berpindah pada frame selanjutnya pada tiga penari yang Nampak berapa di pinggir bangunan pura dan masih sama menggerakan jari dan tangan, sayangnya keindahan gerak jari-jemari yang berada di bangunan atas sedikit terpotong oleh penangkapan kamera.
Tiga penari berdiri di sebuah bangunan berbentuk hexagonal bergerak seolah menentukan dan menandai sebuah sudut ruang untuk menentukan titik keseimbangan dari ruang tersebut. Dua penari nampak bergerak dengan kosa gerak tari Bali dan saling merespon, kemudian frame kembali pada ketiga yang berdiri di antara pilar-pilar kokoh, bertepuk lalu menggerakan jari layaknya mengukur pilar yang berada di depannya secara bergantian. Satu penari sedang bergerak di tengah pintu dengan sudut pandang kamera yang cukup jauh dan diberi aksen slow motion, dalam frame ini saya membayangkan kamera akan melakukan zoom-in dan difokuskan pada lekuk tubuh atau penari dapat melakukan beberapa pose-pose dengan sudut pandang kamera yang cukup jauh ini. Ketiga penari melakukan gerak serentak seperti dalam frame bangunan hexagonal, seketika berganti dengan gerak tangan yang memasuki sebuah lobang arsitektur berbentuk bunga dan memainkan gerak jari-jemari sejenak. Dilanjutkan dengan dua sudut pandang yang menarik diambil dari bayangan kaca dengan satu penari yang hanya difokuskan pada tangan dan ketiga penari di bawah melakukan gerak respon satu-sama lain. Dua penari berada di tengah latar bangunan pendapat menunduk dan melakukan gerak dengan jari-jemari dan tangan, dilanjutkan dengan tiga penari dengan gerak dan pose yang berbeda di dalam sebuah bangunan yang nampak seperti gudang atau dapur.
Mulai dari pertengahan karya, sajian koreografi hanya di isi oleh dua penari atau duet dan solo. Ketika pertunjukan duet berlangsung, nampak kedua penari saling mengkomunikasikan sesuatu dengan cara melakukan gerak respon satu sama lain. Pada beberapa bagian mereka juga membawa properti batu seakan-akan sedang melakukan negosiasi terhadap bahan atau barang apa yang akan dipilih. Tiba-tiba soundscape berubah menjadi suara mesin sepeda motor yang sangat bising melatari penari yang sedang asyik menggerakan tangan dan satu penari menggerakan kaki. Bangunan yang tadinya lebih menunjukan gaya arsitek Bali berubah menjadi bentuk arsitek modern yang minimalis, namun mereka masih melakukan gerak simetris yang sama ketika berada di antara pintu bangunan. Dua poses penari yang sedang menumpu satu sama lain mengingatkanku pada teknik penyambungan kayu tanpa menggunakan paku atau lem, di mana kedua pilah kayu dibentuk sedemikian rupa untuk saling mengisi ruang yang telah di rongga untuk dihubungkan. Dalam detik-detik terakhir pementasan ini, aku merasa bahwa adanya negosiasi ruang tubuh dan ruang bangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dan di akhir pertunjukan saya menangkap adanya sebuah konflik yang dilakukan oleh tubuh dalam beradaptasi dengan negosiasi ruang yang tidak dikehendaki.
Subjektivitas Ruang
Di luar deskripsi singkat karya dan ulasan-ulasan yang telah dibahas, secara pribadi aku menangkap bahwa konsep karya koreografi ini sedang membicarakan hubungan mikorokosmos dan makrokosmos tentang alam dan ruang kehampaan pada kehidupan manusia yang terus menerus diulang-ulang hari demi hari. Perpaduan gerak ritmis penari, suara dan bentang alamnya mengingatkan saya pada perjalanan kecil di Bali di akhir tahun 2019 silam. Bali memang sangat khas dengan tradisinya dan keunikan seni yang hidup di dalamnya, bahkan tak henti-hentinya saya mengabadikan wujud seni di sepanjang jalan selama observasi. Sebagai seorang penonton, hal tersebut yang muncul di benakku pertama kali ketika memutar video Sikut Awak di laman Youtube Helatari, dan mungkin sedikit berbeda dengan apa yang ingin dibicarakan oleh sang koreografer. Beberapa menit pemutaran video, aku berhenti sejenak setelah melihat seorang penari bergerak ditengah pintu dan berbagi ruang dengan pintu tersebut. Inisiasi dipintu itulah yang menarik perhatian saya untuk menghentikan sejenak video dan kembali ke deskripsi singkat oleh kurator di awal, lalu berusaha menemukan ulasan-ulasan yang membahas sikut satak / sikut gegulak untuk melihat karya Sikut Awak.
Melalui penelusuranku dalam mencari tahu tentang sikut satak / sikut gegulak yang dipaparkan oleh Krisna Satya di awal, saya akhirnya menemukan ulasan percakapan oleh Krisna Satya sebagai koreografer dan seorang dramaturg, penulis, serta kurator tari Nia Agustina mengenai karya Sikut Awak di laman gelaran.id. Ulasan tersebut nampak mengalir layaknya diskusi santai yang diawali dengan pandangan Nia Agustina pada karya Sikut Awak dan beberapa pertanyaan lalu ditanggapi oleh Krisna Satya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang karyanya. Dari penjelasan tersebut aku mulai memahami bahwa yang dimaksud sikut satak / sikut gegulak adalah metode alat ukur meteran yang dilakukan pada tradisi masyarakat Bali. Pengukuran tersebut meliputi segala hal baik penentuan hari baik, hingga pemilihan material yang tidak boleh sembarangan. Hal yang menarik lainnya ketika Nia menjelaskan bahwa hal tersebut juga terjadi dalam tradisi Jawa juga, seperti penggunaan hasta, depa, dan jengkal. Berbicara tentang metode arsitek tradisional, aku juga teringat dengan filosofi Feng Shui yang terkenal luas di Asia Timur. Berdasarkan buku Burial Book pada abad ke III yang ditulis oleh Ghou Pu, Feng Shui merupakan angin dan air, yang memiliki kekuatan chi (breath) dalam penerapannya harus disesuaikan dengan yin/yang dan lima elemen meliputi air, api, kayu, metal, dan tanah. Feng Shui sendiri sangat dipercayai pada tradisi China dalam menentukan dekorasi rumah untuk mendapatkan keharmonisan dan keberuntungan hidup (Hwangbo, 1999).
Dengan membaca ulasan diskusi tersebut memberikanku pandangan dan imajinasi tentang sikut satak / sikut gegulak yang dibicarakan pada karya ini. Namun rasa keingintahuan semakin bertambah sehingga aku menghubungi salah satu kolega yang biasa disapa Cak Rina, seorang seniman tari kecak kontemporer yang tinggal di Ubud, Bali. Dalam kesempatan ini saya menanyakan lagi tentang definisi sikut satak / sikut gegulak pada tradisi masyarakat Bali. Pertanyaan tersebut mendapat respon baik oleh cak Rina dan ia bersedia menjelaskan melalui teks Whatsapp, mengambilkan video serta memberi gambaran mengenai sikut satak juga penggunaan sikut gegulak.
“Sikut satak itu adalah; ukuran pekarangan rumah pada umumnya dibatasi oleh tembok pembatas, yang terdapat dalam sikut satak itu: Tempat pemujaan/merajan/sanggah yang dibatasi dengan tembok pekarangan, tempat rumah terdiri dari bale daja (gedong) letaknya di utara, bale dangin letakny di timur untuk upacara kematian, manusia yadnya, bale dangin sifatnya terbuka bale dauh, dibelakang bale dauh terdapat dapur atau tempat masak. Kalau balai daja itu posisinya paling tinggi, bale dangin lebih rendah beberapa cm dan balai dauh lebih rendah lagi. Itu pengertian sikut satak yg bukan berarti ukurannya 200 tapi posisi dari sebuah rumah atau bangunan yg dimiliki hampir sebagian besar oleh masyarakat Bali” (Jum’at, 22 Oktober 2021)
Saya menangkap beberapa hal yang dijelaskan oleh Cak Rina dengan tampilan koreografi pada Sikut Awak, kalau tidak salah beberapa kali frame koreografi berada di bangunan bale daja, bale danging, dan angkul-angukul. Sesuai penjelasan dari Cak Rina dan kesepakatan Krisna Satya dalam menyusun koreografi Sikut Awak, bangunan di atas sebenarnya mempunyai tatanan hierarkis yang tidak boleh dilanggar seperti ukuran serta arah hadap, dan ketika dilanggar maka dapat menimbulkan malapetaka. Sangat menarik apabila Krisna Satya juga dapat menunjukan tatanan hierarkis tersebut menggunakan level gerak serta permainan kamera zoom-in zoom-out. Koreografer dapat mencoba berbagai kemungkinan untuk mengetahui nilai atau kesan yang ditimbulkan pada ruang tubuh yang (limited menjadi unlimited) dan sudut ruang pementasan. Ruang pementasan merupakan kekuatan dalam pertunjukan, di mana setiap sudut memiliki kekuatan sekaligus kelemahan bagi tubuh yang bersinggungan. Panggung site spesifik adalah ruang pentas yang istimewa, berbeda dengan panggung proscenium maupun studio yang dibatas oleh satu sudut pandang, melainkan ruang lepas yang menyatu dengan bentang alam sekitar sehingga penari bergerak dalam pentas imajiner untuk merepresentasikan ruang-ruang yang berbeda. Pembahasan ruang tubuh limited ke unlimited yang aku maksud adalah ruang tubuh disini mempunyai privilege dalam menentukan ukuran bangunan, sedangkan bentuk bangunan mengikuti anatomi ruang tubuh manusia.
Pemahaman tata ruang serta anatomi tubuh nampaknya harus dipahami secara detail, mengingat membuat ruang dalam ruang adalah sebuah tantangan bagi koreografer untuk saling mengisi power di dalamnya. Kalau dilihat koreografi Sikut Awak memiliki konsep tiga ruang, ruang tubuh, ruang bangunan / semesta, dan ruang kamera; dari ketiga tersebut hal yang paling krusial dalam pembentukan sudut pandang adalah ruang kamera, di mana ia dapat membatasi sudut pandang penonton dan menimbulkan ruang-ruang baru yang secara jelas membantu koreografer dalam penyempurnaan karya. Semisal ketika gerak tersebut memfokuskan pada alat gerak seperti tangan atau kaki, kamera dapat mengambil gambar di sepanjang ruang gerak tangan itu berada, seperti halnya penari melakukan gerak di tengah pintu, power yang ditunjukan akan lebih besar apabila kamera fokus pada gerakan tangan saja atau sebatas torso. Beberapa frame juga menunjukan bentuk-bentuk asimetris yang memberi kesan alami dan menyatu dengan alam. Ketidak simetrisan terkadang membuat karya koreografi lebih menarik untuk memunculkan emosi pada penonton, namun di saat bersamaan bisa jadi sebaliknya; oleh karena itu kepekaan koreografer terhadap ruang asimetris perlu diperdalam untuk memperkuat tatanan koreografi yang ada.
Sumber
Wawancara melalui Whatsapp Ketut Rina, Seniman Tari Kecak di Peliatan Ubud Bali. 22 Oktober 2021.
Isadora Duncan dalam Alexandra Carter. 2011. Constructing and Contesting the Natural in British Theatre Dance. Dancing Naturally. London: Palgrave Macmillan.
Berpaling pulang, sebuah karya teater oleh KALANARI Theatre Movement, kelompok independen di Yogyakarta yang dipertunjukan di Festival Kebudayaan Yogyakarta 2021. Latar belakang ruang lingkup kampung dengan suara percakapan seorang kakak yang menyuruh pulang adik, serta kostum yang terbuat dari barang-barang sekitar seolah mengingatkan memori masa kanak-kanak dulu. Kalau diingat-ingat memang dimasa kecil dulu saya dan teman-teman sering menirukan kegiatan orang dewasa seperti halnya memasak dengan menggunakan pelepah pisang, bermain rumah-rumahan dengan barbie kertas dan rumah dari tanah, dan masih banyak lagi. Kali ini dalam karya teater Berpaling Pulang sedang menunjukan aktivitas baris-berbaris atau sejenisnya dan dilanjutkan bermain petak umpet. Aktivitas anak kecil yang dimainkan oleh orang dewasa ternyata seru juga…hingga suara seorang monolog membicarakan soal rindu_pulang?. Kemudian disusul dengan adegan yang cukup menyedihkan di mana kakak perempuannya yang ikut bermain petak umpet ternyata mengganti pakaian rapi dan pamit. Dalam adegan ini pergantian emosi sangatlah kontras dari ceria menjadi sedih.
Pertunjukan KALANARI Theatre Movement saat ini sepertinya menyajikan cerita yang relate dengan cerita asli anak seni yang sedang merantau dan disaat yang bersamaan dihadapkan dengan dua situasi antara ambisi serta keadaan. Pertunjukan ini dilakukan oleh empat orang pemain dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Satu pemain perempuan membawakan karakter seorang adik bungsu, dua pemain perempuan lainnya berperan sebagai kakak perempuan, terakhir satu tokoh laki-laki barangkali di interpretasikan sebagai rumah, rindu, memori atau ingatan yang membelenggu. Memang seperti deskripsi yang ada, kata-kata pulang memiliki beragam sudut pandang khususnya pada representasi tujuan yang dimaksud. Kata-kata pulang memang identik dengan rumah, kampung halaman, atau bahkan seorang individu, tempat di mana kita merasa nyaman, tanpa beban, sejenak istirahat, menikmati hidup, atau bahkan mendapat sebuah perlindungan yang lebih dibandingkan dari tempat lain. Menariknya teater ini juga menyuguhkan sebuah stigma umum masyarakat Jawa yang tidak membiarkan anak bungsu untuk tetap dirumah mengurus orang tua, berbeda nasib dengan kakak-kakaknya yang diperbolehkan menjelajahi semesta bahkan mengadu nasib untuk masa depan lebih baik lagi. Tali-tali yang mengikat pada frame terakhir layaknya ingatan atau memori terdahulu yang mengikat kuat disetiap langkah demi langkah. Terkadang juga kehadiran kita pada suatu moment teralihkan dengan fikiran di masa lalu yang rasanya ingin sekali pulang…hmmm kali ini mengingatkanku pada film reminiscence, tetapi dengan berbeda versi, di mana memori sama-sama membekas atau bahkan memberi teka-teki yang harus dipecahkan.
Namun apakah itu yang dimaksudkan? atau sebenarnya kita harus melangkah terus dan terus untuk menjalani realita yang lebih patut untuk dihadapi daripada bicara soal masalalu dan kembali lagi padanya. Pada akhir pertunjukan, hal yang saya tangkap adalah usaha kita dengan menyibukan diri untuk melupakan memori itu justru malah membawa kita terjebak di dalamnya, terkadang mellow sendiri dengan keadaan seperti ini yang seolah enggan bertumbuh dewasa. Kemudian nuranimu perlahan membantumu untuk melepaskan kesedih dan kerumitan hidup secara perlahan yang di backsound i dengan nyanyian minang, dan saya tidak mengetahui artinya. Karya teater Berpaling Pulang ini membawaku kepada perasaan gundah, mengingatkan pada posisi dewasa yang melelahkan dengan segala kesibukannya. Latar pertunjukannya sangat natural, begitu juga dengan eskpresi dan properti yang dibawa oleh pemain. Terdapat satu hal yang kurang saya fahami yaitu, adegan yang menunjukan bahasa-bahasa isyarat, sepertihalnya sebuah kerumitan fikiran yang kadang tidak bisa diluapkan oleh kata-kata, kita berada di sini namun fikiran kita disana. Atau mungkin keadaan jiwa yang lelah karena terus menerus membohongi diri untuk terlihat baik-baik saja selama perantauan, kata-kata yang sebenarnya umum atau bisa saja unek-unek yang tidak tersampaikan. Intinya karya ini menjadi multitasfsir adanya, layaknya kompleksitas hidup untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Saya juga kurang memahami jenis karya teater apa ini, apakah masuk dalam teater musikal?.
Perlahan lampu menyorot panggung bak ruang bengkel dan segala perabotannya. Suara alat sedot WC yang terdengar unik saling bertautan satu sama lain sehingga membuat sebuah melodi music. Tidak ada suara music midi yang mengiringi pertunjukan ini, tetapi music live yang diproduksi langsung dengan koreografi gerak dalam sebuah drama. Mereka tidak nampak berbicara satu sama lain tetapi berkomunikasi lewat pandangan mata dan gesture yang sesekali menunjukan sebuah emosi tertentu. Adegan per adegan sepertinya selalu menandakan konflik antara individu maupun kelompok yang emosional namun juga dapat mengundang tawa.
Stomp Live merupakan grub teater perkusi stomp yang cukup dikenal dikancah dunia seni pertunjukan dengan ciri khasnya mengkombinasikan tubuh dan properti daily live untuk memproduksi gerak dan musik seperti halnya dalam pertunjukan tari stomp. Stomp Live yang ke enam ini dapat diakses dalam kanal youtube World Music https://www.youtube.com/watch?v=MM_rPDB8Cj8 dengan judul Dance & Fight, diunggal pada 16 Januri 2013. Properti yang mereka gunakan kali ini adalah drain buster atau alat penyedot WC, alat pel, air, dan juga stick atau tongkat panjang dan tongkat kecil dengan konsep permainan gerak battle yang silihberganti.
Berbicara soal tari stomp pasti identik dengan harmonisasi gerak dan musik, baik itu diproduksi oleh tubuh maupun properti pendukung. Keselarasan dan kekompakan menjadi kunci utama dalam pertunjukan ini untuk mendapatkan gerak dan irama yang presisi. Uniknya, kelompok Stomp Live ini memberikan sedikit adegan drama sejenis pantomime dan adegan parodi dengan setting panggung yang khas layaknya di dalam sebuah bengkel. Diawali dengan adegan bermain genangan air di atas panggung dilanjutkan dengan permainan properti penyedot WC secara bergantian menimbulkan suara yang khas dan membentuk sebuah irama. Nampak penari di awal juga berusaha meratakan air genangan yang berada di atas panggung untuk memudahkan penari lainnya agar properti penyedot WC dapat mengeluarkan bunyi yang sama. Sesekali mereka melakukan gerakan yang kompak dan pola lantai yang sama, hingga ada satu penari mengalihkan perhatian dan penari lainnya masuk ke dalam panggung. Adegan selanjutnya disusul oleh dua penari dengan membawa dua alat pel yang besar, keduanya melakukan adegan parodi sambil membersihkan sisa air yang berada di atas panggung. Terdengar suara musik yang berasal dari dalam panggung dan kedua penari pembawa alat pel bergegas menyelesaikan tugasnya untuk membersihkan sisa air di atas panggung. Lima penari melakukan ketukan musik yang sama menggunakan tongkat panjang dan tongkal kecil sebagai alat pukul, merespon satu penari yang membawa alat pel kemudian bersiap membuat pola lantai U di atas panggung. Satu sama lain penari melakukan eye contact sambil berganti tempat dengan teknik cross yang seolah menandakan battle atau pertarungan akan segera di mulai. Kedelapan penari menggunakan pola lantai bulat kemudian lurus sejajar dan mengganti irama musik sedikit lebih tegas dengan hentakan-hentakan tonkat panjang. Berlangsung cukup lama dengan intonasi musik yang berubah-ubah, hingga berganti dengan beradu stick battle dan seolah-olah menyerang satu sama lain. Irama musik semakin cepat dan pertunjukan diakhiri dengan pose rendah secara kompak, kemudian satu persatu penari meninggalkan panggung dengan membuat suara kecil dari tongkat yang mereka bawa.
Pertunjukan stomp dance memiliki kemiripan dengan Irish dance yaitu hentakan gerak kaki yang menimbulkan suara dinamis. Dilihat dari sajian Dance & fight, nampaknya jenis stomp ini lebih pada pertunjukan stomp music yang memfokuskan pada harmonisasi melodi suara yang disajikanseperti halnya grup Stomp Out Loud. Pertunjukan stomp bisa dikatakan sebagai kombinasi pertunjukan musik dan pertunjukan tari di mana tubuh dan properti menjadi bagian utama pertunjukan. Koordinasi yang baik antar penari menjadi hal yang paling krusial untuk menghindari miss baik secara gerak maupun suara musik. Dance & fight oleh Stomp Live menawarkan spektakel koreografi tari dan musik dalam sebuah drama teater yang sederhana. konsep yang menarik pada Dance & fight terletak pada pengemasan konflik yang dibuat parodoks. Seperti yang diketahui secara umum awal konflik biasa lebih ditonjolkan sebuah adegan yang emosional, bahkan membuat penonton juga ikut geram, namun dalam pertunjukan ini penonton justru tertawa karena melihat ulah penari yang menunjukan sebuah ekspresi atau kegiatan yang memunculkan efek parodi. Stigma paradoks lainnya juga terjadi pada tampilan penari yang berotot dan sebagain bertato ternyata memiliki sifat keanak-kanakan dalam pertunjukan stomp ini. Harmonisasi dalam pertunjukan ini cukup menarik walaupun hanya memakai tongkat yang dibunyikan bersama, namun melodi yang dihasilkan layaknya suara marching band komplit dengan drum. Suara menyerupai drum tersebut dihasilkan dari hentakan tongkat dan kaki penari, sehingga membuat suara terdengar beragam. Stomp Live kali ini lebih menonjolkan ketrampilan bermain alat properti daripada menghasilkan suara dari tubuh layaknya pertunjukan Stomp Live pada part 3.
Seorang lelaki naik ke meja beton tempat wastafel, lalu ia mendekatkan wajahnya dan mengarahkan ujung keran yang mirip belalai gajah ke wajahnya. Ia memicingkan mata lalu air menembak wajahnya. Lelaki itu pun seperti berteriak, tetapi tak ada suara; ia seperti menangis, tapi air yang mengalir di pipinya hanya air keran; dan ia lelaki, tetapi pada narasi awal dikatakan bahwa dapur begitu berjarak dengan anak laki-laki; seolah dapur hanya ruang untuk perempuan—dan apakah sesungguhnya masih penting pertanyaan, “Dia adalah lelaki atau perempuan, dia adalah ibu atau bapak,” ketika berada di dapur? Pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan itu barangkali tak lagi penting. Ibu dalam “ r” telah hadir sebagai tubuh yang meruang dengan sisi maskulinnya.
Pertunjukan Dialogia Dapur diperankan oleh Ela Mutiara (Tari), M. Tahta Gilang A.N (Rupa), Surya Ahadiannur (Musik), dan Syamsul Arifin (Teater). Mereka adalah seniman individu yang dipilih oleh kurator pertunjukan Gugus Bagong secara mandiri untuk dipertemukan dan mencipta karya baru secara kolaboratif. Kolaborasi ini berlangsung kurang lebih tiga minggu dengan pendampingan intensif dari kurator pertunjukan Gugus Bagong 2020, rangka Festival seni pertunjukan Gugus Bagong pada 18-21 November 2020, dan diadakan oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
Kita belum bersepakat, tetapi saat ini, perempuan seoalah pemilik dapur, dan hanya perempuan. Dalam pertunjukkan “ , terlihat beberapa pemain lelaki, dan Ela Mutiara yang berlatar belakang penari adalah satu-satunya perempuan dalam pertunjukan tersebut. ia merentang dan melipat tangannya seolah sedang mengukur ruangan dengan tubuhnya sambil menyebut satuan panjang: “100 meter, 150 centimeter, 90 centimeter, 80 centimeter…” dan seterusnya dengan angka yang bertambah kecil. Dengan begitu, dapur terasa sempit walau semula lelaki itu mengatakan, “100 meter”.
Rumah dengan ukuran 100 m tentu tidak banyak, kalaupun ada, dapur pastinya tidak seluas itu. Tetapi, dalam konteks ini, 100 m seperti satuan imajiner. Ruang yang luas dan sempit, bukan lagi satu persoalan ruang secara fisik. Kita bisa melihat gerakan para penari yang statis dan dinamis di ruang sempit itu. Namun, gerakan mereka memiliki satu batasan: representasi atas kegiatan dapur. Dengan jumlah pemain dan gerakan itu, seolah mereka ingin berkata bahwa ruang sempit itu bukan suatu masalah untuk menyelesaikan banyak pekerjaan; bukan batasan untuk bergerak.
Lalu, beberapa lelaki lain melakukan kegiatan – masih di dalam dapur – dan seorang perempuan tiba-tiba terlempar ke lantai. Kehadiran satu-satunya perempuan itu tiba-tiba menjadi poin atau fokus dalam pementasan ini, mengingat dapur yang katanya, “sebagai wilayahnya anak perempuan”. Pertunjukan “Dialogia Dapur” seperti mengajak kita bertanya tentang gender dan ruang, sebagaimana lemparan narasi di awal: “Dapur adalah tempat perempuan”. Tetapi, apakah benar suatu ruang diciptakan atas kepentingan gender, seperti dapur untuk perempuan dan ruang depan untuk laki-laki?
Saya tidak betul-betul memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan kakek saya, tetapi saya tahu banyak tentang dia dari cerita anak-anaknya. Ia—sebagaimana lelaki pada zamannya—lebih suka berdiam diri di dapur. Bahkan, dapur seperti menjadi ruang pribadinya. Pagi-pagi ia akan menanak nasi, lalu melanjutkan tidur di sana, dan dengan sumringah paman-paman saya berkata: “Ketika ia bangun, nasi sudah matang!” Rupa-rupanya, hal ini tidak lakukan oleh kakek saya saja, beberapa lelaki seumurannya juga begitu. Tetapi, perlahan, lelaki satu-dua generasi di bawah kakek saya—termasuk saya—tidak memiliki kebiasaan itu: telah berubah menjadi ruang untuk perempuan.
Dapur adalah ruang untuk perempuan adalah mitos teryakini, sebagaimana ruang depan sebagai tempat lelaki. Tetapi, mitos memang menciptakan suatu struktur tertentu pada rumah tangga, sebagaimana lampu yang membuat orang takut dengan kegelapan. Penemuan telah membuat beberapa hal berubah, dan mitos berkelindan di antaranya. Adegan dalam “Dialogia Dapur” yang paling melekat di kepala saya adalah ketika si perempuan menutup pintu dapur dan mengganti pakaian di sana. Ia menjadi perempuan yang seolah pekerja kantoran, lalu beberapa pakaian lain yang mencerminkan perempuan dengan sisi berbeda, dan terakhir menggunakan pakaian untuk berangkat ke dapur lagi: memasak, membolak-balik ikan di penggorengan, lalu menunggu.
Saya teringat ketika perempuan itu terlempar ke lantai dapur. Pertunjukan ini seolah ingin mengantarkan kita pada pemahaman bahwa menjadi perempuan adalah keterlemparan dengan paket komplit: dapur dan mitos-mitos itu, sama dengan menjadi lelaki, sama dengan menjadi siapa pun. Namun mitos perempuan kadang menuntut mereka untuk menjadi sesuatu yang berlebih, semisal: perempuan dengan seribu tangan.
Kata dapur sangat erat kaitannya dengan kegiatan memasak, cuci piring, makan, kotor, panas, dan bau. Padahal dapur memberi kita kesempatan hidup. Menyediakan makanan dan minuman sebagai penyambung nyawa manusia. Mengapa posisi dapur dominan diletakan di belakang rumah? Apakah dapur tempat paling rendah? Apa dapur tempat paling tak berguna? Sehingga dapur dibelakangkan. Apakah yang posisinya di belakang selalu kalah?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dipikiran saya dan terus bercabang membentuk pertanyaan baru lagi.
Memutar-mutar pikiran dan rasa mengenai dapur. Manusia sebagai pengatur dapur diposisikan sebagai dapur (benda, ruang, dan rasa). Bagaimana rasanya menjadi dapur yang selalu diacuhkan tapi diperlukan, dihiraukan tapi dinanti, disepelekan tapi dipentingkan.Bunyi ambients menarik diri saya masuk ke dalam dapur. Kondisi dapur disesuaikan dengan situasi sebenarnya. Ada tiga penari terdiam memberikan informasi simbol berupa posisi tubuh di antara perabot dapur.
Mengingatkan saya pada beberapa karya komposer musik abad 20 seperti John Cage dengan karyanya Water Walk (1960) dan Mauricio Kagel dengan karyanya Repertoire aus Staatstheater (1967/1970). Tubuh diposisikan sebagai instrumen (alat) eksplorasi. Disusun, dibentuk, dan dimodifikasi sebisa mungkin untuk mewakilkan ‘pesan’ yang ingin disampaikan oleh seniman. Aspek tekstual dan kontekstual pada karya ini benar-benar melebur menjadi satu. Semua berdialog, semua berkomunikasi satu dengan yang lain. Ruang dapur diperlakukan ‘baru’. Tubuh seperti bunglon yang kadang menjadi tubuh makhluk dan pada saat tertentu menjadi tubuh benda. Saya rasa tubuh unsur estetik dan di luar estetik terperangkap di dalam dapur dan menciptakan satu buah jiwa yang baru.
Isu feminisme juga saya rasakan dalam karya ini. Perempuan yang erat kaitannya dengan dapur, sedangkan pria yang anti dapur dewasa ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dapur sudah tak lagi membahas gender. Dapur membahas apa yang ada dan untuk apa dia ada. Saya ibaratkan dapur sebagai jantungnya rumah. Tak ada dapur tak bisa makan dan minum. Tak ada dapur perempuan serasa tidak enak hati. Tak ada dapur pria akan mengeluh kepada perempuan. Dapur menyimpan berjuta memori. Ruang merekamnya begitu detil.Dapur yang tidak terlihat belum tentu menjadi tempat yang tidak penting. Lampu yang redup, ruangan yang selalu dibuat acak-acakan akan menerima maaf dari tuannya.
Eksplorasi gerak yang dilakukan oleh para pemain untuk berpikir dan terus mencari maksud serta tujuan dari gerakan tersebut. Tak hanya gerak, pencahayaan yang dilakukan pun menarik. Diawal memang pencahayaan terus monoton. Hanya mengandalkan lampu yang ada di dapur. Saya tertarik pada bagian akhir, ketika pintu tertutup dan terbuka. Setiap pintu terbuka memunculkan pose salah satu penari dengan lampu yang berbeda warna.
Ide berlandaskan rutinitas mungkin bukan yang pertama, tetapi cara pengemasan yang apik dan pemanfaatan tubuh, benda, dan ruang yang optimal membuat karya ini memiliki identitas berbeda. Sekat antar bidang seni sudah tidak ada lagi. Semua saling beririsan, membaur, dan melebur. Ada gerak menghasilkan bunyi, bunyi yang bergerak, dan bunyi yang masih terdengar menciptakan musik yang natural. Dalam karya ini kamera menjadi mata penonton. Sekaligus ikut menari memperlihatkan apa yang ingin diperlihatkan. Kadang fokus kamera pada apa yang kita jarang lihat, seperti halnya gerakan kaki, tangan, dan berbagai bagian yang jarang sekali menjadi sorotan kamera.